Widget Recent Post No.

Rabu, 07 Juni 2023

ASWAJA DALAM MEMAHAMI TRADISI DAN BUDAYA

 

LANDASAN DASAR TRADISI

Salah satu ciri yang paling dasar dari aswaja adalah moderat (tawasuth). Sikap ini tidak saja mampu menjaga para pengikut Aswaja dari keterperosokan kepada perilaku keagamaan yang ekstrem, tapi juga mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan secara proporsional.

Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Itu karena budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka budaya juga bersifat beragam sebagaimana keberagaman manusia.

Menghadapi budaya atau tradisi, ajaran Aswaja mengacu kepada salah satu kaidah fiqih “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik). Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional. Seseorang harus bisa mengapresiasi hasil-hasil kebaikan yang dibuat orang-orang pendahulu (tradisi yang ada), dan bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan tradisi tersebut atau mencipta tradisi baru yang lebih baik. Sikap seperti ini memacu untuk tetap bergerak ke depan dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.

Oleh karena itu, kaum sunni tidak apriori terhadap tradisi. Bahkan fiqih sunni menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah hokum. Hal ini tercermin dalam salah satu kaidah fiqih “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya).

 

SIKAP TERHADAP TRADISI

Pertanyaan penting yang perlu dijawab di bagian ini adalah “bagaimana menggunakan kaidah-kaidah fiqih dalam menyikapi tradisi?”. Banyak orang yang memepertentangkan antara budaya dengan agama. Hal ini karena agama berasal dari Tuhan yang bersifat sacral (ukhrawi), sedang budaya adalah kreasi manusia yang bersifat profan (duniawi).

Akan tetapi sejak diturunkan, agama tidak bisa dilepaskan dari budaya sebagai perangkat untuk mengekspresikannya.Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Sebagai kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun social.

Dalam hal ini, berlaku kaidah “al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan tradisi atau budayanya, tapi nilai yang dikandungnya. Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung kebaikan, maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan sebagai yang layak untuk diikuti. Ini sebagaimana kaidah fiqih, “al-‘adalah al-muhakkamah”, bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.

Sikap bijak tersebut memungkinkan para pengikut Aswaja melakukan dialog kreatif dengan budaya yang ada. Dengan dialog, bisa saling memperkaya dan mengisi kelemahan masing-masing. Dari proses ini, memungkinkan melakukan upaya penyelarasan unsure-unsur budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok Islam.

Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam, namun di dalamnya mungkin menyimpan butir-butir kebaikan. Menghadapi ini, sikap yang arif bila tidak menghancurkan semuanya, tapi mempertahankan unsure-unsur kebaikan yang ada dan menyelaraskan unsure-unsur lain agar sesuai dengan Islam.inilah makna kaidah “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh”.

Contoh dalam hal ini adalah slametan atau kondangan atau kenduri yang merupakan tradisi orang jawa yang ada sejak sebelum Islam datang. Jika kelompok lain memandang slametan sebagai bid’ah yang harus dihilangkan, kaum sunni memandang secara proporsional. Yaitu bahwa di dalam slametan ada unsure-unsur kebaikan sekalipun juga mengandung hal-hal yang dilarang agama. Unsur kebaikan dalam slametan antara lain : merekatkan persatuan dalam masyarakat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada Tuhan, serta mendoakan yang sudah meninggal. Semua tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga tidak ada alasan melenyapkannya, sekalipun tidak pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Sementara hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam – misalnya sesaji untuk makhluk halus – bisa diselaraskan dengan ajaran Islam secara pelan-pelan dengan penuh kearifan.

Sikap tersebut adalah yang diteladankan para Walisongo dalam meyebarkan ajaran Islam di nusantara. Sebagai pewaris Nabi, Walisongo tentu melakukan dakwah dengan pedoman jelas. Dalam menyikapi tradisi setempat diilhami oleh Nabi Muhammad sebagai panutannya. Satu misal, haji adalah ibadah yang sudah ada sejak sebelum kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad. Oleh Nabi, haji tidak dihilangkan, tapi diisi dengan ruh tauhid dan dibersihkan dari kotoran syirik. Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para sahabat dan para pengikutnya, termasuk Walisongo, yang disebut dengan kaum sunni atau Ahlussunnah wal Jama’ah.

Imam Syafi’i, salah satu pendiri madzhab fiqih Sunni, menyatakan : “kullu ra’yi shawab yahtamilu khatha’, wa kullu ghairi ra’yi khatha’ yahtamilu shawab” (pendapatku adalah benar tapi mengandung kemungkinan untuk salah, dan pendapat orang lain salah tapi mengandung kemungkinan untuk benar). Ini merupakan sebuah sikap seimbang yang teguh dengan pendiriannya, tapi tetap bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada pada orang lain. Kearifan seperti inilah yang memandu kaum sunni untuk tidak dengan mudah berperilaku seperti ‘preman berjubah’ yang teriak ‘Allahu Akbar’ sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang untuk menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat. Seakan-akan mereka benar secara mutlak dan orang lain sesat secara mutlak.

Sikap seperti ini adalah sikap dakwah Aswaja sebagaimana yang dicontohkan oleh Walisongo dalam menghadapi tradisi local. Terhadap tradisi yang tidak bisa diselaraskan dengan Islam, maka aktifitas dakwah dilakukan dengan damaidalam satu tatanan kehidupan yang saling menghargai dan damai.

0 komentar:

Posting Komentar

ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIEN