Widget Recent Post No.

Senin, 03 April 2023

AKIDAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH


 

PENDAHULUAN

Di antara hal yang sering disalah pahami umat Islam adalah aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Apakah aqidah Ahlussunnah wal Jamaah itu, dan apa hubungannya dengan aqidah Islam? Aqidah Ahussunnah wal Jama'ah tiada lain adalah aqidah Islam sendiri, yaitu aqidah yang diyakini Rasulullah saw, para sahabat, dan ulama Islam penerusnya hingga sekarang yang terhindar dari berbagai macam bid'ah aqidah yang menyimpang darinya.

Perbedaan pandangan sungguhpun dimulai setelah wafatnya Rasululah saw terutama dalam soal kepemimpinan yang kemudian meluas ke aspek yang lain. Perbedaan semakin tajam dalam aspek akidah dengan munculnya aliran-aliran dalam Islam. Pada awalnya menyikapi perbuatan orang yang berdosa besar. Selanjutnya kepada persoalan perbuatan manusia itu sendiri dan meluas kepada pembahasan mengenai Tuhan dalam perbuatan, sifat, keadilan dan kekuasaannya. Bagaimana sebenarnya pandangan ahlus sunnah waljama’ah. Maka perlu dipelajari dari pandangan-pandangan imam Abu Hasan al-Asy’ari (873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H).

PEMBAHASAN

Sebagaimana diketahui bahwa ahlus sunnal waljama’ah baru dikenal setelah munculnya aliran muktazilah dan aliran-aliran lain sebelumnya dengan kemunculan aqidah asya’ariyah. Dalam hal ini, asy’ariyah memberi jalan tengah (tawasuth) di antara kelompok-kelompok keagaman yang berkembang waktu itu. Hal tersebut ditunjukkan oleh pandangan-pandangan al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam menjawab beberapa pesoalan akidah yang berikut.

Perbuatan manusia

Dalam seputar pembahasan ini menampilkan pertanyaan apakah diciptan oleh manusia itu sendiri dibawah kendali dan kekuasannya sehingga manusia aktif ataukah diciptakan oleh Tuhan sehingga hanay bersifat fasif. Ada dua kelompok yang saling berseberangan dalam  memberi jawaban terhadap persoalan ini. Pertama Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah saw dan manusia tidak memiliki peranan apa pun dalam menciptakan perbuatannya. Kedua qodariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah swt . Jadi bagi jabariyah kekusaan Allah itu mutlak akan tetapi sebalinya bagi qodariyah bahwa kekuasaan Allah itu terbatas.

Al-Asy’ari menunjukkan sikap tawasuth dengan membawa konsep al-kasb. Menurutnya, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia masih mempunyai peranan dalam perbuatannya. Konsep kasb dapat dipahami bahwa terjadinya perbuatan manusia disebabkan oleh usaha (kasb) manusia yang bersamaan dengan daya kemampuan yang diberikan oleh Allah swt. Pada dasarnya Allah memberi kemampuan kepada manusia untuk menciptakan perbuatannya. Sedangkan manusialah yang mengusahakan bentuk perbuatannya.

Al-Maturidiyah juga memberi pemahaman serupa, bahwa Ada perbuatan Tuhan yang mengambil bentuk daya dalam diri manusia, sedangkan pemakaian daya itu sendiri merupakan prbuatan manusia.

Perbuatan Tuhan

Muktazilah berpendapat bahwa Perbuatan Tuhan hanya terbatas pada pada hal yang dikatakan baik saja. Sehingga Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban berbuat baik, antara lain kewajiban tidak memberi beban di luar kemampuan manusia, kewajiban mengirim rasul dan kewajiban menepati janji-janjinya. Oleh karena itu perbuatan tuhan menurut muktazilah terbatas dan bersifat dipaksa karena Tuhan telah disebut memiliki kewajiban-kewajiban. Kewajiban menepati janji menunjukkan bahwa Tuhan harus memasukkan orang beriman ke dalam surga dan orang kafir kedalam neraka. Tuhan harus bersikap adil kepada manusia. Pemahaman ini bertentang dengan kekuasan mutlak Tuhan.

Pendapat muktazilah ini ditolak oleh al- Asy-ariyah sebab mengatakan Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban menunjukkan arti bahwa telah terjadi pembatasan terhadap kekuasan Tuhan. Padahal Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang bisa membatasi kehendak dan kekuasannya. Oleh karena itu, Tuhan tidak memiliki kewajiban apa pun. Sebab dalam pandanga asy’ariyah, tuhan tidak bertindak atas kepentingan manusia. Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak secara mutlak. Manusia dimasukkan kedalam surge sejatinya karena kehendak Tuhan itu sendiri.

Al-Maturidiyah memiliki pemahaman yang sama dengan Asy’ariyah. Namun menurut pendapat mereka meskipun Tuhan berkuasa dan kehendak secara bebas akan tetapi Tuhan berkehendak pada dirinya sendiri untuk berbuat baik kepada manusia dan berkehendak menepati janji dan ancamannya. Bukan karena Tuhan merasa punya kewajiban sebagaiman dalam paham Muktazilah.

Sifat-sifat Tuhan

Muktazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Apa yang disebut sifat itu sebenarnya bukanlah sifat, tapi adalah esensinya. Jadi wujud Tuhan adalah esensi Tuhan itu sendiri. Tuhan mengetahui dengan pengetahuannya dan pengetahuannya itu merupakan esensi Tuhan. Sehingga Tuhan tidak dapat dikatan mempunyai sifat dalam pandangan Muktazilah.

Berbeda dengan hal itu, Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Sifat Tuhan beda dengan esensinya, tapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Jadi sifat Tuhan bukanlah Tuhan, tapi tidak lain dari Tuhan. Jadi Tuhan mengetahui dengan sifat ilmunya, melihat dengan sifat penglihatannya, dan mendengar dengan sifat pendengarannya. Al-maturidiyah juga sepaham dengan Asy’ariyah bahwa Tuhan mempunyai sifat dan sifat itu tidak lain dari Tuhan. Sifat-sifat itu kekal melalui kekekalan yang ada dalam esensinya.

Pembahasan ini semakin terlihat mana benar ketika dihadapkan pada Al-Qur’an sebagai kalam Allah. Sebelumnya Muktazilah berpendapat bahwa  Tuhan mengetahui dengan pengetahuannya dan pengetahuannya adalah esensi Tuhan itu sendiri. Maka seharusnya mereka juga berpendapat bahwa Tuhan pun juga berfirman dengan kalamnya (Al-Qur’an) dan al-Qur’an itu sendiri adalah esensi Tuhan. Namun mereka justru mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah mahluk (diciptakan) sehingga bersifat baru.

Beda halnya dengan paham Ahlus sunnah wal-jama’ah bahwa Tuhan mengetahui dengan sifat pengetahuannya dan berfirman dengan kalamnya. Karena sifat Allah itu qodim Bersama esensinya maka kalam Allah (al-Qur’an) juga bersifat Qodim dan azali sebagaimana sifat Allah yang lain. Oleh karena itu, Aswaja berpendirian bahwa Al-Qur’an bukanlah Tuhan, namun juga bukanlah Mahluk yang diciptakan.

KESIMPULAN

Akidah merupakan hal paling penting yang mendasari kepercayaan. Dalam persoalan-persoalan penting akidah yang membahas seputar Tuhan dan manusia maka paham aswajalah yang sejalan dengan apa yang dipahami dalam islam itu sendiri yang sejalan dengan pendirian Nabi dan Para sahabatnya. Hal ini bukan hanya karena sikap tawasut (pertengahan), namun karena mampu menempatkan Tuhan dan manusia secara proporsional dan sejalan Al-Qur’an dan hadits.

0 komentar:

Posting Komentar

ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIEN