Widget Recent Post No.

Minggu, 02 April 2023

MEMAHAMI SUMBER AJARAN AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH

 


 


PENDAHULUAN

Kedudukan sumber dalam memperoleh pengetahuan sangat menentukan terhadap pengetahuan yang dihasilkan, apakah bisa diterima atau ditolak. Begitu juga dalam agama dan pemahaman keagamaan. Agama yang benar bisa dilihat dari sumber ajaran agamanya yang benar sebagaimana pemahaman keagamaan dapat diukur benar apa bila diambil dengan cara yang benar dari sumbernya. Jadi sumber agama penting sebagai prinsip yang paling mendasar dalam beragama.

Klaim kebenaran suatu agama bisa dilakukan oleh semua agama, namun kebenarannya dapat diukur dalam sumber ajarannya. Klaim kebenaran dalam beragama juga bisa disaksikan oleh kelompok-kelompok penganut agama.  Meski sumber rujukan yang digunakan sama seringkali menghasilnya perbedaan pendapat atau pemahaman. Perbedaan itu sendiri adalah rahmat. Namun menjadi persoalan jika perbedaan pendapat yang dihasilnya itu mengarah pada penyimpangan pemahaman agama sebagaimna yang sudah banyak terjadi. Oleh karena itu dalam hal ini, penting sekali untuk memahami secara benar tentang sumber ajaran ahlus sunnah wal jama’ah.

PEMBAHASAN

SUMBER UTAMA

Di dalam menentukan hukum fiqih dan pemahaman keagaman secara umum, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut ;

1.      Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2 ; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :

ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)

ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”. (Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59)

Kedua ayat tersebut jelas mengagatakan bahwa al-Qur’an menempati posisi utama sebagai sumber ajara Islam.

2.      Al-Hadits

Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut ;

 وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)

 وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)

 

Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum. Al-Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid. Karena Rasululllah saw sudah tidak ada di tengah-tengah umat Islam sebagai rujukan dalam menyelesaikan pesoalan keagamaan maka ijtihad menjadi pilihan umat Islam.

Ijtihad merupakan pengerahan segenap kemampuan untuk menghasilkan hokum dan pemahaman keislaman. Ijtihad menggunakan akal. Dan hal ini dibenarkan oleh Rasullah saw sebagaimana dalam hadits muadz bin jabal berikut :

عَنْ مُعَاذٍ قَالَ : لَمَا بَعَثَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم اِلىَ اْليَمَنِى قَالَ: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عَرَضَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكَتَابِ اللهِ قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فىِ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ اَجْتَهِدُ بِرَأْيِى وَلاَ الُوْ قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ اْلحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَاهُ رَسُوْلُ اللهِ. رواه أحمد وابو داود والترمذى.

“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.

Ijtihad pertama dimulai dari masa sahabat dengan ijma’. Lalu dikembangkan oleh ulama mujtahid dengan metode qiya’ dan cara-cara lain yang dapat disahkan.

SUMBER ALTERNATIF

1.      Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan atas hukum kejadian yang terjadi bahwa itu merupakan hukum syariah. Dengan ungkapan lain, ijmak merupakan kesepakatan bahwa hukum syariah atas suatu masalah yang terjadi adalah demikian. Ijmak Sahabat adalah kesepakatan para Sahabat Nabi saw. atas hukum kejadian yang terjadi bahwa itu merupakan hukum syariah.

Kemudian ijma’ ada 2 macam : 1. Ijma’ Bayani (الاجماع البياني ) ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya. 2. Ijma’ Sukuti (الاجماع السكوتي) ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu. Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati. Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (اولىالامر منكم ) Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59

 ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.

 

2.        Qiyas

Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok. Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh dari al-Qur’an dan hadits.

PROSEDUR MEMAHAMI AGAMA DARI SUMBERNYA DALAM TRADISI AHULUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Dalam melakukan perumusan hukum dan pemahaman keagamaan ajaran ahlu Sunnah wa al-jama’ah tidak secara langsung mengambil sumber dari al-qur’an dan hadist seacara bulat. Sebab cara demikian bisa menghasilkan pemahaman yang setengah-setangah dan berpotensi menyimpang dari pemahaman yang hendak diberikan oleh syari’ sebenarnya. Maka dari perlu memperhatikan riwayat pemahaman sebelumnya dari para sahabat, tabi’in atau ulama mujtahidin.

Berikut diuraikan cara merujuk (menggali sumber referensi) dan langkah istinbath (deduktif) atau istidhal (induktif) yang menjadi tradisi keagamaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlus Sunnah Wa al Jama’ah.

1.    Madzhab Qauli

Pendapat atau pandangan keagamaan ulama yang teridentitas sebagai “Ulama Sunni” dikutip secara utuh atau qaulnya dari kitab mu’tabar dalam mazhab. Seperti mengutip dari kitab “Al-Iqtishad fial –‘itiqad” karangan Abu Hamid al-Ghozaly yang menjabarkan paham aqidah Asy’ariyah atau kitab “al –Umm” yang menghimpun qaul Imam –Syafi’i.

Agar terjaga keutuhan paham mazhab sunni harus dihindarkan pengutipan pendapat(qaul) dari kitab yang penulisnya bermazhab lain. Misalnya mengutip pendapat Imam Malik dari kitab fiqhu al Sunnah karya Sayid Sabiq, atau pensyarahan atas hadist koleksi Ibnu Daqiq al-Ied bertitel Muntaqa al-Akbr dari ulasan al –Syaukani dalam Nayl al-Awthar.

2.    Madzhab Manhaji

Upaya merespon masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash syar’iberupa kutipan ayat al Quran, nuqilan matan sunnah atau hadist, untuk mewujudkan citra muhafazhah maka langkah kerjanya sebagai berikut :

a.    Kutipan ayat dari mushaf dengan rasamutsmaniy lengkap petunjuk nama surah dan nomor urutan ayat serta menyertakan terjemahan standard eks Departemen Agama R.I kutipan pula tafsir atas ayat tersebut oleh Mufassir Sunni dari kitab tafsir yang tergolong mu’tabar.

b.   Penuqilan matan sunnah / hadist (kitab hadist standar) berikut mencantumkan nara sunber Nabi atau Rasullulah SAW. Serta nama periwayatan /nama mukharrij (kolektor). Perbedaan nash sunnah atau nash hadist sebagai hujjah syar’iyah harus mempertimbangkan data hasil ujian kehujjahannya sebagai shahih, hasan atau dha’if.

c.  Pengutipan ijmak perlu memisahkan katagori ijmak shahabi yang diakui tertinggi mutu kehujjahannyadari ijmak mujtahidin.

3.    Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi

Pada tataran aplikasi hokum terkait proses penyusunan RUU/Raperda pilihan jatuh pada kreasi mengembangkan asas-asas ijtihad yang dikenal luas pada jajaran ulama Sunni.

Operasional asas-asas ijtihad tersebut perlu didukung kearifan mengeloni bobot masalah ijtihadiyah terutama : frame (bingkai) masalah, konteks (keterkaitan) dengan kepentingan individu atau kebijakan publik, dampak pada sector aqidah dan ghirah diniyah kadar kesulitan pada dalam pelaksanaan, membuka peluang hilah hukum dan resiko berjangka panjang.

KEDUDUKAN AKAL DALAM MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Akal memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Sebab akal merupakan sebab Allah swt membebani manusia dengan syariatnya. Akal juga merupakan sarana penting dalam memahami wahyu nash-nash Al-Qur`an dan As-sunnah. Namun Islam  tidak meletakkan akal sebagai hakim (penentu) yang menentukan benar tidaknya hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Sebab, ada beberapa ruang dalam syariat, yang tidak bisa dijawab oleh akal manusia. Seperti, tentang Allah, Malaikat, surga, neraka dan lain sebagainya.

Dalam pandangan Ahlus sunnah wal-jama’ah, Kemampuan akal yang terbatas dirinci lebih jelas. Asy’ariyah misalnya menjelaskan bahwa akal hanya bisa menjawab satu dari empat persoalan penting. Pertama, mengetahui adanya Tuhan. Kedua, mengetahui kewajiban bersyukur kepada Tuhan. Mengetahui baik dan buruk. Dan keempat mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Dari empat persoalan penting itu hanya persoalan pertama yang bisa dijawab oleh akal dalam pandangan Asy’ariyah. Al-maturidyah menjelaskan bahwa akal hanya dapat mengetahu dua persoalan saja. Untuk kewajiban-kewajiban tak dapat dipahami oleh akal. Maka disinilah pentingnya Allah swt menurunkan wahyu yang menuntun manusia.

 KESIMPULAN

Apa yang kita yakini harus diluruskan sejak dari sumbernya demi mendapatkan kebenaran ajaran dan untuk menghindari penyimpangan. Ajaran Islam telah menetapkan bahwa sumber ajarannya dapat diambil dari Al-Qur’an, hadits dan selanjutnya ke ijma’ dan qiyas. Namun hal demikian memerlukan prosedur perumusan yang benar dalam memahami ajaran Islam. Ahlus sunnah wal-jama’ah dalam menjaga kemurnian dan kebenaran ajaran islam mempunyai tradisi dalam istinbat dan istidlal ajaran Islam dengan madzhab qouli, madzhab ijtihadi, dan madzhab asas pengembangan Ijtihad. Dan peru dipahami bahwa akal hanya merupakan sarana dalam memahami agama sehingga kedudukanna dibawah wahyu.

0 komentar:

Posting Komentar

ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIEN