Widget Recent Post No.

Sabtu, 13 Agustus 2016

Wahdatul Wujud Sentral PemikiranTasawuf Ibnu Arabi




Wahdatul Wujud
Sentral PemikiranTasawuf Ibnu Arabi
(560 H/165 M-638 H/1240 M)


Cinta paling yang mulia yang pernah kurasakan adalah cinta yang membuat seseorang merasakan hasrat batin, hasrat bergelora, takluk dan hening, yang   membuat orang tidak dapat tidur dan makan, membuatnya tak tahu untuk siapa dan karena siapa….aku merasakannya sendiri saat aku tiba di Syiria. Aku merasakan hasrat aneh (maylan majhulan) selama beberapa saat, di tengah-tengah pengembaraan spiritual dalam bentuk imajinal dan ragawi… aku mencintai, namun aku tak tahu siapa yang kucintai..adakah kekasihku penciptaku, ataukah Dia cintaku? pernahkah seorang pecinta mengatakan hal ini…[1]


A.    PENDAHULUAN

Islam kaya akan khazanah-khazanah keilmuan. Kekayaan itu berkat dorongan kitab sucinya sendiri yang senantiasa memberikan tempat yang seluasnya bagi hadirnya interpretasi terhadap teks. Interpretasi pun bisa berkembang dalam berbagai konteks perkembangan zaman. Sehingga dari sana banyak hasil pemikiran muncul dalam berbagai ranah keilmuan, yang kemudian memungkinkan kita bisa merasakan hadirnya agama dalam suasana yang lapang dan mudah.
Sesuai dengan kekayaan khazanah itu pula, dalam Islam telah muncul banyak kelompok dengan berbagai pemikiran mereka yang berusaha menghadirkan agama ke dalam ruang-ruang dimana mereka berada. Dan diantara kelompok-kelompok itu ada yang belum merasa puas dengan hadirnya agama yang dijalankan secara lahiriyah saja, misalnya dengan hanya menjalankan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Mereka ini ingin menghadirkan agama sampai pada bagiannya yang paling mendalam. Bukan hanya sekedar dijalankan, melainkan pula dirasakan dengan penuh perenungan. Mereka inilah yang disebut-sebut sebagai kelompok sufi atau tasawuf. Paham ini juga dikenal dengan sitilah mistik atau mistisisme.
Tujuan dari mistisisme ini adalah berusaha dengan seungguh-sungguh untuk melakukan hubungan yang sedekat-dekatnya dengan Tuhan. Bahkan ingin merasakan langsung di hadirat Tuhan itu.
Oleh karena jalan menuju Tuhan itu tersedia dengan seluasnya, maka banyak cara dan pendekatan yang bisa dilakukan. Inilah kemudian yang memungkinkan kaum sufi mengalami pengalaman spiritual yang berbeda-beda mana kala mereka sedang mengadakan pendekatan pada Tuhan. Dilakukan dengan tahapan yang berbeda-beda pula. Sehingga pengalaman mereka ini mengilhami pemikiran dalam ilmu tasawuf dengan ciri khasnya masing-masing. Salah satunya adalah Ibnu Arabi yang terkenal dengan paham wahdat al-wuju>d.
Ibnu Arabi dikenal sebagai tokoh besar dalam sejarah pemikiran tasawuf. Latar belakang hidupnya serta perjalanan spritualnya yang unik membuat pemikiran-pemikiran tasawufnya berpengaruh di berbagai belahan dunia Islam, baik di Barat maupun Timur. Di Indonesia Hamzah al-Fansuri merupakan salah yang terpengaruh dengan ajarannya, wahdat al-wuju>d.
Menyelami pemikirannya yang luas ini sangatlah menarik. Disamping wawasan keilmuannya yang luas dan banyak sekali melahirkan karya, pemikiran tasawufnya bercirikan pemikiran-pemikiran filsafat. Ada yang memang menduganya bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dalam filsafat, baik Islam maupun Yunani. Dalam salah satu riwayat dia memang mempelajari filsafat Plotinus, meski dari referensi sekunder. Bahkan tercatat pula dia pernah belajar filsafat dari seorang filosof Yahudi di Spanyol.
Dengan berbagai latar belakang dan pemikirannya yang unik itu, konsep tasawufnya digolongkan pada tasawuf-falsafi. Konsep pemikirannya yang utama berupa wahdat al-wuju>d sarat dengan pemikiran filsafat.

B.       BIOGRAFI IBNU ARABI
1.    Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Ali. Dia berasal dari suku Hatim al-Tha’i[2], yaitu salah satu suku dari bangsa Arab yang terletak di Najd, sebuah kawasan antara Madinah dan Syam.[3] Dia biasa dipanggil Muhyiddin (yang menghidupkan agama), al-Syaikhul Akbar (Guru besar), dan putra Platonis.[4] Tetapi yang paling populer diantaranya adalah Ibnu Arabi.
Selain dari Ibnu Arabi yang dikenal dalam dunia tasawuf ini masih ada lagi Ibnu Arabi yang juga cukup terkenal. Yaitu Abu> Bakr Muh}ammad ibn ‘Abd Allah ibn al-‘Arabi> al-Ma’a>rifi> (468-543 H/1076-1148 M), seorang ahli hadits di Seville, salah kota di Spanyol. Akan tetapi pembahasan ini tetap fokus pada Ibnu Arabi yang pertama, seorang tokoh tasawuf yang sangat terkenal, bahkan dalam sepuluh abad terakhir ini dikatakan belum ada yang menandingi kebesaran namanya di dunia tasawuf, selain dari pada al-Ghazali.
Ibnu Arabi dilahirkan di kota Murcia, Spanyol bagian utara pada tanggal 17 Ramadlan 560 H (28 Agustus 1165 M). Dia hidup pada masa khilafah al-Mustanjid dari dinasti Abbasiyah.[5]
Di masa itu kondisi Spanyol sendiri sedang mengalami kondisi politik yang memanas. Dinasti al-Mura>bitu>n dijatuhkan oleh dinasti al-Muwa>hhidu>n. Sebelumnya kondisi yang tidak menentu sudah berlangsung dengan datangnya pemberontakan sekelompok tentara Kristen yang menyebut diri mereka reconcuista (para penakluk). Mereka tengah berupaya merebut Spanyol dari tangan umat Islam. Pada tahun 1085 M Alphonso VI mampu menaklukkan Toledo dan berlanjut merebut Saragosa pada tahun 1118 M.[6] Di tengah situasi itulah Ibnu Arabi kemudian lahir dan dibesarkan.
Ibnu Arabi hidup dan dibesarkan di lingkungan kekuasaan. Ayahnya adalah seorang pejabat pada Dinasti al-Muwahhidun. Bahkan dia dua kali pernah menjabat sebagai orang kepercayaan istana al-Muwahhidun pada dua periode, Abu Ya’qub Yusuf dan raja al-Mukmin III. Sedangkan dari pihak ibu, dia memiliki paman bernama Yahya ibnu Yughan al-Shanhaji yang juga menjadi seorang penguasa di Tlemcen.[7] Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid.

2.      Riwayat Pendidikan dan Perjalanan Spritualnya
Pada tahun 568 H/ 1172 M, tepat di usianya yang kedelapan Ibnu Arabi meninggalkan kota kelahirannya itu untuk menuju kota Lisabon. Di kota ini dia menerima pendidikan agama Islam yang pertama dari seorang guru yang bernama Syekh Abu Bakar ibnu Khallaf.[8] Dari gurunya ini, dia belajar membaca al-Qur’a>n dan hukum-hukum Islam. Setelah itu dia pindah ke kota Seville dan menetap di kota ini selama kurang lebih 20 tahun. Kota ini selain dikenal sebagai kota ilmu pengetahuan juga terdapat kegiatan-kegiatan sufistik dengan banyak guru-guru sufi di dalamnya.
Di Seville ini Ibnu Arabi memulai pendidikannya dengan pelajaran-pelajaran yang umum. Pada saat itu ialah al-Qur’a>n, hadits, fiqh, theologi, filsafat skolastik, dan ilmu kalam. Keberhasilannya dalam pendidikan didukung oleh kecerdasan otaknya. Disamping itu kedudukan ayahnya sebagai pejabat dan orang kepercayaan di istana al-Muwahhidu>n ikut serta mengantarnya sebagai seorang sekretaris gubenur Seville di usianya yang masih muda.[9] Setelah itu dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Maryam. 
Meskipun Ibnu Arabi hidup di tengah lingkungan istana, bahkan menduduki posisi jabatan yang penting, akan tetapi hal itu tidaklah menarik perhatiannya. Tidak berlangsung lama Ibnu Arabi telah menanggalkan semua status sosialnya itu. Dia lebih memilih jalan sufi. Dan memasuki usia 20 tahun Ibnu Arabi mulai memasuki maqom tasawwuf yang pertama, yaitu bertaubat dari semua kemewahan dan segala atribut status sosialnya.[10]
Sejak saat itu, dia banyak mengunjungi berbagai kota di Spanyol untuk berguru. Dia tidak membeda-bedakan setiap orang yang pernah ditemuinya, baik dari kalangan ahli fiqh, ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf. Setiap orang yang bisa ditemuinya dijadikannya sebagai guru untuk menambah wawasan dan pengetahuannya. Tidak heran jika dia mempunyai guru-guru yang banyak dari berbagai madzhab dan aliran. Dan salah satu yang membuat terkesan baginya adalah ketia dia bertemu dan dapat berdialog langsung dengan Ibnu Rusyd, seorang tokoh filosof paripatetik yang sangat terkenal.
Memasuki usia 28 tahun pada 1193 M, Ibnu Arabi melakukan perjalanannya yang pertama keluar semenanjung Iberia. Di tahun itu dia pergi ke Tunis untuk mempelajari kita Khal’ al-Na’layn yang dikarang oleh Ibnu Qoshi, seorang tokoh sekaligus pemimpi sufi yang memberontak pada Dinasti al-Murabitu>n. Ibnu Arabi sendiri memberikan ulasan terhadap kitab itu mengenai kekagumannya. Tetapi dia pula memperlihatkan kekecewaannya pada tokoh sufi itu dan menganggapnya sebagai seorang pendusta karena dia telah terbukti mengaku sebagai seorang mahdi yang akan menyelamatkan Spanyol.[11]
Di samping itu, Ibnu Arabi mempelajari kitab al-hikmah yang dikarang oleh Ibnu Barrajan, seorang tokoh sufi yang juga pernah menjadi pemberontak sebagaimana Ibnu Qoshi. Tetapi Ibnu Arabi mempelajari kitab itu melalui seorang guru yang bernama Abdul al-Aziz al-Mahdawi, seorang sufi yang dikenal kedalaman wawasaannya dalam bidang tasawuf dan filsafat.[12]
Di tahun 1194, Ibnu Arabi kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini dia menuju kota Fez di Maroko. Kepergiannya ke kota ini menimbulkan dugaan bahwa dia ingin menghindar dari suasana konflik yang terjadi di Andalusia. Akan tetapi sebenarnya kepindahan Ibnu Arabi ke kota ini lebih bersifat spiritual karena Fez saat itu merupakan tempat perkumpulan para sufi di Afrika Selatan.[13]
Maka di kota Fez ini, Ibnu Arabi kemudian mengalami sejumlah momen spiritual yang penting. Dia lalu mencapai maqom karomah, suatu kondisi spiritual yang dapat memungkinkannya mengetahui masa depan. Selain itu, maqom ini membuat Ibnu Arabi dapat melihat kondisi social politik yang terjadi di Andalusia tanpa menyaksikan langsung dengan mata kepala. Di samping itu Ibnu Arabi juga mencapai maqom cahaya yang dapat membuat Ibnu Arabi mengetahui hakikat jiwa dan badan. Disusul pula dengan maqom fana’ (peniadan diri). Pada kondisi ini, Ibnu Arabi telah merasakan dirinya telah lebur dalam cahaya.
Di kota Fez ini pula Ibnu Arabi bertemu dengan seorang ahli hadits sekaligus sebagai tokoh sufi yang bernama Muhammad ibn Qosim ibn Abd al-Rahman al-Tamimi al-Fasi. Dalam pertemuan ini, al-Fasi menyerahkan khirqoh[14] kepada Ibnu Arabi. Sebelumnya Ibnu Arabi telah pernah ditahbis oleh seorang gurunya, Abul Abbas al-Uryabi, yang disebut khirqoh khadiriyyah, karena memiliki derajat spiritual dari nabi Khidir. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Arabi telah banyak memiliki hubungan spiritual dengan banyak sufi lainnya.
Setelah tinggal di Fez selama empat tahun (dari tahun 1194-1198) Ibnu Arabi kemudian  melanjutkan perjalanan. Akan tetapi terlebih dulu dia kembali ke Andalusia dengan bermaksud pamit dengan guru-gurunya yang ada disana. Lalu karena sebuah mimpi dan ilham yang diterimanya, Ibnu Arabi lalu menulis sebuah kita yang berjudul Mawaqi’ al-Nujum, ditulis selama sebelas hari. Buku ini adalah yang terakhir ditulisnya sebelum dia meninggalkan Andalusia.[15]
Bersama Badar al-Habsyi dan seorang sahabat lamanya di kota Fez, yang bernama Muhammad al-Hashshar, Ibnu Arabi kembali berniat melanjutkan perjalanannya menuju Timur. Selama melewati rute perjalanannya, dia menjalin hubungan dengan banyak para sufi.
Sebenarnya Ibnu Arabi pergi ke Timur dengan tujuan akan melaksanakan ibadah haji. Maka selama perjalanan, dia singgah ke berbagai tempat. Tempat yang pertama disinggahinya adalah Kairo. Dari Kairo dia pun bergerak ke Mekkah. Akan tetapi tidak seperti biasanya jamah haji pada umumnya yang bisa bertolak dari Kairo menuju Mekkah. Dia terlebih dulu berniat ke Palestina. Dan sempat singgah di pusaran nabi Ibrahim di Hebron. Lalu singgah pula di masjid al-Aqsho. Setelah itu dia baru bergerak ke Madinah dan sempat singgah di makam nabi Muhammad saw. Sebelum akhirnya sampai di tempat tujuannya semula, yaitu Mekkah.
Ada beberapa alasan kenapa Ibnu Arabi tidak melewati rute yang semestinya dari Kairo ke Mekkah. Pertama, dikatakan bahwa rute Kairo-Mekkah tidak aman sebagaimana yang pernah dituturkan oleh Ibnu Batutah. Sehingga dia mesti melewati rute yang lebih jauh. Kedua, karena Ibnu Arabi ingin berziarah ke makam para nabi yang pernah hadir dalam mimpinya. Jadi lebih bersifat spiritual.
Dalam sebuah mimpi pula, Ibnu Arabi melakukan mi’raj ke tujuh langit dengan ruhnya. Di langit yang pertama, dia bertemu dengan nabi Adam dan berbincang dengannya. Secara berurut pula dia bertemu di langit-langit berikutnya dengan nabi Isa, nabi Yusuf, nabi Idris, nabi Harun, dan nabi Musa. Lalu dia akhirnya sampai ke langit yang ketujuh dan disana dia bertemu dengan nabi Ibrahim. Perjalanannya ke Palestina yang sempat berkunjung ke makam nabi Ibrahim di Herbron tersebut merupakan tanda secara simbolik bahwa dia telah sampai di langit yang ke tujuh. Lalu saat dia sampai di Mekkah adalah secara simbolik pula dia telah sampai di hadapan Allah swt.[16] Dan inilah puncak dari perjalanan spiritual Ibnu Arabi.
Jadi Mekkah memiliki arti penting bagi Ibnu Arabi sebagai puncak perjalanan spritualnya. Disana Ibnu Arabi untuk pertama kalinya bermimpi telah dinobatkan sebagai pemaris nabi Muhammad saw. Penobatan ini membuat Ibnu Arabi bisa mengerti semua rahasia dari ajaran nabi Muhammad saw.[17] Dalam hal ini dia sebenarnya telah mendapatkan apa yang disebut dengan al-Haqi>qoh al-Muhammadiyah, sebuah derajat kewalian yang ada dari zaman azal hingga akhir zaman. Dan dengan penobatan itu pula dia mendapatkan amanah untuk menyebarkan agama Islam sebagai rahmatan  lil a>lami>n.
Di Mekkah ini pula hadir sesuatu yang berkesan bagi Ibnu Arabi ketika dia bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik dan terpikat oleh kecantikannya. Dia bertemu dengannya di dekat Ka’bah, yang diketahui kemudian bernama Nizham, seorang putri dari imam Masjidil Haram yang berasal dari Isfahan.[18] Pertemuan yang mengesakan itu terus membekas dalam diri Ibnu Arabi dan selanjutnya mengilhaminya untuk menulis buku Tarjuman al-Asywa>q (penafsir kerinduan). Buku itu merupakan kumpulan syair-syair yang ditulisnya untuk mengenang Nizham akan kecantikannya yang memikat Ibnu Arabi dan menyadarkannya akan keindahan Tuhan dalam diri gadis itu. Oleh ulama Aleppo, buku ini dituduh telah mengajarkan erotisme.[19] Akan tetapi Ibnu Arabi membantahnya sendiri bahwa tujuan penulisan buku itu adalah untuk tujuan spiritual.[20]
Di Mekkah ini pula Ibnu Arabi menyelesaikan karya monumentalnya yang berjudul al-Futuha>t al-Makkiyah, yang memuat semua pengalaman spritualnya. Buku yang tebalnya mencapai lebih dari 6000 halaman itu diselesaikannya selama 19 tahun. Di saat penyelesaian buku ini berlangsung, ditulis pula bukunya yang lain, seperti Hilyat al-Abda>l, Taj al-Rasa>’il, Misyka>t al-Anwa>r, dan Ruh al-Quds.
Memasuki usianya yang ke empat puluh tahun, aktifitas fisiknya kembali meningkat. Ibnu Arabi kembali melakukan perjalananannya pada fase kedua di Timur. Itu terjadi sekitar tahun 600 dan 617 H. Dalam fase kedua ini, ada beberapa tempat yang tercatat pernah dikunjunginya, yaitu Syiria, Palestina, Mesir, Iran, dan Hijaz. Di tempat yang disinggahinya itu dia tidak pernah berlama-lama. Meski demikian selama itu pula produktifitasnya semakin meningkat. Tercatat ada sebanyak 50 karya telah lahir dari tangannya. Karya-karya itu umumnya ditulisnya dalam waktu yang singkat dan beberapa diantaranya ada yang ditulis untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang ditujukan kepadanya.[21]
Selain itu, Ibnu Arabi juga pernah mengunjungi Asia Kecil melalui Aleppo. Disana dia pernah menetap di Konya atas permintaan Majd al-Di>n Ishaq al-Ru>mi, ayah dari Shadr al-Di>n al-Qunawi> yang kelak akan menjadi murid terdekatnya. Dalam salah satu sumber awal tercatat pula bahwa Ibnu Arabi menikahi janda al-Qunawi>.
Beberapa waktu selanjutnya, setelah melewati berbagai tempat, Ibnu Arabi pun pernah singgah pula di Baghdad dan menetap disana selama empat tahun, dari tahun 608 H/1211 M hingga tahun 611 H/1214 M. Dari ibu kota Dinasti Bani Abbasiyah ini dia kembali lagi ke Mekkah dan menulis al-Dhakha>’ir Wa al-A’la>q, sebagai komentarnya atas buku sebelumnya yang berjudul Tarjuma>n al-Asywa>q.[22]
Tidak lama setelah itu, Ibnu Arabi pun memasuki usia udzur. Pada tahun 620 H/1223 M dia memutuskan menetap di Damaskus dan menghabiskan masa-masa akhir dari hidupnya. Disana dia ditemani oleh murid terdekatnya, al-Qunawi>. Bahkan penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah bernama Muz}affar al-Di>n juga merupakan salah seorang muridnya.
Di Damaskus ini dia menulis kitab Fusu>s al-Hikam di tahun 627 H/1229. Menurut pengakuannya sendiri, buku itu ditulisnya dengan didiktekan langsung oleh nabi Muhammad saw dalam sebuah mimpi. Kitab ini lebih ringkas dan lebih cepat pengerjaannya dari pada kitab al-Futu>ha>t, akan tetapi lebih sulit. Dua tahu setelah itu dia merampungkan kitab al-Futu>ha>t yang merupakan karya monumentalnya itu hingga disana dia wafat pada 22 Rabi’ul Tsa>ni 638 H, bertepatan dengan  16 November 1240, di usia tujuh puluh tahun. Dia dimakamkan di Salihiyyah, di kaki bukit Qasiyun di bagian utara kota Damaskus.[23] Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
C.       KONSEP TASAWUF IBNU ARABI
Dalam sejarah pemikiran tasawuf tercatat bahwa setiap sufi memiliki ciri khas pemikiran tasawuf yang berbeda dari sufi lainnya sebagai efek dari pengalaman spiritual mereka yang berbeda-beda. Begitu pula dengan Ibnu Arabi. Dia memiliki banyak konsep tasawuf yang disebarnya dalam banyak buku yang ditulisnya. Sesuai dengan latar belakang pendidikannya yang telah menampung banyak wawasan dan pengetahuan, Ibnu Arabi memiliki konsep tasawuf yang berbau falsafi. Sehingga pemikirannya ini digolongkan pada tasawuf-falsafi. Konsep tasawupnya yang paling terkenal ialah wahdat al-wujud.
Meski Ibnu Arabi disebut-sebut sebagai orang yang memiliki konsep wihdatul wujud, akan tetapi dalam banyak karyanya istilah tersebut tidak ditemukan. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Arabi sendiri tidak pernah menyebutkan konsep pemikirannya dengan nama-nama tertentu.
Namun, dalam sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh W.C Chittick menujukkan bahwa Shadr al-Di>n al-Qunawi> dalam perbincangannya tentang wujud Tuhan dan ke-esaan-Nya. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa al-Qunawi>-lah sebagai orang pertama yang menggunakan istilah Wahdat al-Wuju>d.[24] Penelitian ini membatalkan dugaan Ibrahim Madkur dan Su’ad al-Ha>kim bahwa Ibn Taimiyah adalah orang pertama yang menggunakan istilah ini.[25]
Meskipun demikian, dalam tulisan-tulisannya memang dijumpai pemikiran Ibnu Arabi yan mengarah dan menunjukkan pada istilah Wahdat al-Wuju>d  tersebut. Misalnya seperti salah satu tulisannya yang berbunyi :
فما ظهر  في الوجود الا الحق فالوجود الحق وهو واحد
“Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-Haqq, dan Dia adalah satu”[26]
، وعين الوجود واحد والأحكام مختلفة
“Entitas wujud adalah satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka.”[27]
Dengan demikian tidak salah mengalamatkan konsep Wahdat al-Wuju>d  ini pada Ibnu Arabi selaku tokoh sufi yang pertama kali mengeluarkan pemikiran itu.
1.      Wahdat al-Wuju>d
Secara harfiyah Wahdat al-Wuju>d bermakna kesatuan wujud. Dan secara mendasar paham ini pula mengajarkan bahwa wujud itu hanyalah satu, yaitu wujud itu sendiri, Allah swt.
Sebenarnya semua ini dimulai dari kegelisahannya tentang hakikat Tuhan dan hakikat segala yang ada. Dia kemudian mulai mempertanyakan tentang wujud dan hakikat dari wujud ini. Dia merenungkannya dengan begitu mendalam. Dalam pikirannya, dia bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan wujud? Apa hakikat dari wujud? Apakah seseorang dapat benar-benar mengerti tentang wujud?
Kegelisahan itu mengundang analisa dalam pemikiran Ibnu Arabi tentang makna wujud itu. Jika wujud itu bermakna ada maka ia dapat dipahami dari semua yang tampak dalam alam semesta ini. Namun apakah yang ada itu merupakan yang sebenarnya wujud. Segala yang ada ini menampakkan keberadaannya. Sementara keberadaan itu sendiri adalah eksistensi. Tapi apakah eksistensi itu merupakan wujud yang sebenarnya. Sebab baik ada maupun eksistensi yang ada tidak memiliki ada dalam dirinya sendiri. Sehingga keduanya bukan merupakan wujud yang sebenarnya. Buktinya adalah keduanya mengalami bentuk tidak tetap, berubah, dan bahkan bisa tiada.
Dengan demikian, yang hakikatnya ada itu mesti bersifat tetap, tidak bergerak, dan tidak pula berubah. Pandangan ini tampak seperti teori filsafat tentang gerak. Sesuatu yang tidak pernah berubah dan tidak pernah bergerak itu adalah realitas ketuhanan, yang secara harfiyah disebut dengan Allah.
Dengan begitu, Ibnu Arabi lalu mempertanyakan realitas yang tampak ini. Sungguh realitas yang tampak baginya tidak memiliki wujud dalam dirinya. Sebab hakikatnya ia tidak berwujud, melainkan wujudnya karena wujud yang sebenarnya itu. Dan yang sebenarnya wujud hanyalah satu, yaitu Allah. Inilah titik dimana pemikiran ibnu arabi tentang wahdat al-wujud dimulai dan dikembangkan.
Dalam tulisannya, ibnu arabi menjelaskan :
وهو واحد في الوجود لأن الممكنات المرئية منعوته في هذه الحالة بالعدم فلا وجود لها مع ظهورها للرائي
“Dia ( al-Haqq, Tuhan) adalah Esa dalam wujud karena semua hal yang mungkin yang dapat dilihat itu, disifati dalam keadaan ini dengan ketiadaan. Maka ia  (yang mungkin itu) tidak mempunyai wujud meskipun tampak bagi yang melihat.”[28]
Inilah salah satu keterangannya tentang kesatuan wujud itu. Kesatuan yang dimaksud adalah satu wujud dalam realitasnya, yaitu wujud itu sendiri. Sedangkan selain bukanlah wujud yang sejati. Karena baik wujud maupun eksistensi wujudnya masih bergantung kepada wujud dalam hakikatnya. Maka selain yang hakikatnya wujud itu tidak bias disebut wujud.
Meskipun begitu Ibnu Arabi tetap memakai istilah wujud untuk selain yang wujud itu atau selain Allah. Namun wujud dalam pengertiaan selain Allah ini baginya dimaknai secara metaforis (majaz) untuk tetap mempertahankan bahwa wujud yang sebenarnya itu hanyalah milik Tuhan. Sedangkan yang wujud pada alam hanya merupakan wujud yang dipinjamkan kepadanya.[29] Sebagaimana halnya cahaya yang sebenarnya hanya menjadi milik matahari. Tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada penghuni bumi.
Dengan menekankan pada satu wujud yang hakiki itu, Ibnu Arabi memandang bahwa selain Tuhan itu tidaklah mempunyai wujud dalam pengertian yang sebenarnya. Wujud hanyalah wujud Tuhan. Sedang wujud selainnya hanyalah wujud yang dipinjamkan kepadanya dari Tuhan. Maka menurut ibnu arabi, hubungan wujud dengan selain wujud itu adalah seperti cahaya dengan kegelapan. Wujud itu adalah cahaya yang hanya dimiliki Tuhan, sedangkan adam (ketiadaan) adalah kegelapan yang dimiliki alam.[30]
Oleh karena wujud yang sebenarnya adalah Tuhan, maka selainnya adalah manifestasi (tajalliyat) dari Tuhan. Dalam artian bahwa alam ini merupakan penampakan dari wujud Tuhan yang hakiki itu. Dia lalu menggambarkan pemikiran logis ini dengan tajalliyat Tuhan seperti halnya simbol wajah dalam cermin. Sebagaimana cermin yang digunakan untuk melihat penampakan dari wajah. Setelah kita melihat cermin itu tampaklah dengan wajah dalam cermin. Tetapi kita sendiri mengatahui bahwa wajah yang riel dan yang sebenarnya bukanlah yang ada pada cermin, melainkan wajah itu sendiri. Karena yang tampak dalam cermin hanya merupakan bayangan atau tajalliat dari wajah yang sebenarnya. Sehingga realitas wujud yang sebenarnya hanyalah Esa, sedangkan yang lain hanyalah manifestasi.
Substansi pemikiran dari tajalliyat ini nampaknya selaras dengan yang terkandung dalam sebuah hadits qudsi yang berbunyi :
كنت كنزا مخفيا فاحببت ان  اعرف فخلقت الخلق فبي عرفوني
“Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal. Maka kuciptakanlah makhluk. Mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.”[31]
Melalui hadits diatas Tuhan seperti memang ingin bertajalliat untuk memperlihatkan diri-Nya. Maka alam merupakan tajalliat Tuhan. Mengetahui alam akan semakin mengantarkan pengenalan kita pada hakikat Tuhan.
Pemikiran seperti ini bagi Ibnu Arabi sangat mungkin diketahui. Tuhan sebagai dzohir  dapat diketahui dengan memperlihatkan dirinya dalam suatu wadah manifestasi, yaitu dalam kosmos ini. Tetapi sebagai yang batin Tuhan tak dapat diketahui dan dijangkau sama sekali dalam kosmos ini.
Karena alam ini adalah tajalliyat Tuhan, maka antara tuhan dengan alam ini tidak bisa dipahami kecuali hanya dalam kesatuan kontradiktif ontologis. Ibnu arabi mendasarkan pandangannya ini pada uraian al-qur’an, bahwa Tuhan itu adalah al-Awwal (yang pertama) dan al-A<khir (yang terakhir), al-Dzo>hir (yang tampak) dan al-Ba>tin (yang tersembunyi), al-wa>hid (yang satu) dan al-Kha>tsir (yang banyak), al-Qodi>m (yang terdahulu) dan al-Ha>dits (yang baru), dan al-Wuju>d (yang ada) dan al-Adam (yang tiada). Sehingga realitas itu hanyalah satu. Sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan serta eksistensi dan non eksistensi adalah satu. Meski kedua sifat itu bertentangan tetapi semuanya hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu di alam ini.[32]
Maka bagi Ibnu Arabi, tidak ada perbedaan dalam hakikatnya antara khalik dengan makhluk. Perbedaan itu muncul karena keterbatasan pancaindera dan akal yang tak dapat menangkap hakikat segala sesuatu, sementara segala sesuatu merupakan hakikat diri-Nya dan berhimpun pada-Nya. Dalam pandangan yang terbatas antara khalik dan makhluk merupakan dua wujud yang berbeda. Hal itu karena makhluk tidak bisa memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandangnya dari suatu sudut bahwa keduanya adalah khalik di satu sisi dan makhluk di sisi yang lain.
Meski paham tajalliyat ini menyamakan semua realitas ini dalam kesatuan (wahdah) akan tetapi memahami tajalliyat Tuhan pada alam yang banyak tidak bisa dipahami secara parsial. Sebagaimana yang telah disimbolkan di atas dalam simbol cermin dengan wajah, maka meski sebenar wajah yang sejati hanyalah satu, tetapi tajalliyat-nya bisa  tampak banyak dalam banyak cermin yang bisa berbeda-beda pula. Sehingga memahami alam sebagai tajalliyat Tuhan tidak bisa dipahami secara sebagian, melainkan secara menyeluruh dari semua tajalliyat yang ada. Sedangkan pancaindera dan akal manusia sangat terbatas menjangkau keseluruhannya.[33]
2.      Insan al-Ka>mil
Selain dari konsep Wahdat al-Wuju>d, pemikiran tasawufnya juga melahirkan konsep insan kamil. Insan kamil diterjemahkan sebagai insan yang sempurna yang dalam pengertiannya adalah manusia yang mampu mengktualisasikan seluruh potensi yang ada pada dirinya. Manusia yang demikian telah mencerminkan sifat-sifat Tuhan kedalam dirinya.
Bagi Ibnu Arabi, manusia merupakan tempat tajalli Tuhan yang paling sempurna, yang disebutnya sebagai al-Kaun al-Jami>l. Sehingga manusia merupakan sentral wuju>d yang tergambar kepadanya sifat-sifat ketuhanan. Disini manusia mempunyai posisi yang tinggi dan mulia diantara tajalliyat Tuhan yang lainnya pada alam semesta. Dalam tradisi ke-sufian, istilah insan kamil ini digunakan untuk seorang muslim yang telah mencapai keperingkatan yang paling tinggi, dimana seseorang telah sampai pada maqom fana’ fillah (sirna dalam diri Allah).
Oleh karenanya, meskipun alam semesta ini merupakan tajalliyat Tuhan sebagai diri-Nya yang dzohir, namun ia tak tergambar dan terbentuk kecuali bisa dilihat dalam tajalliyat Tuhan pada diri manusia. [34]
D.      KESIMPULAN

Ibnu arabi merupakan sosok yang berpengaruh besar dalam pemikiran tasawuf. Dalam kepopuleran, dia mampu menandingi al-Ghaza>li dalam kurun waktu sepuluh abad terakhir. Maka membicarakan tasawuf tidak tidak boleh sosok sufi dari Andalusia ini.
Konsep tasawufnya yang sangat terkenal ialah Wahdat al-Wuju>d. Adalah buah panjang perjalanan spritualnya yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di bagian separuh terakhir dari umurnya. Perjalanannya itu mempunyai pengaruh spiritual yang mendalam bagi Ibnu Arabi. Diantara buah spritualnya banyak yang diilhami oleh mimpi, didiktekan langsung oleh Tuhan melalui Malaikat seperti karyanya al-Futu>ha>t al-Makkiyah, dan yang didektikan langsung oleh nabi Muhammad saw melalui sebuah mimpi pula yang kemudian menghasilkan kitab Fusu>s al-Hikam. Selama perjalanan spritualnya itu dia aktif sebagai penulis yang produktif. Konon, karya yang pernah ditulisnya dikatakan berjumlah hingga 1000 buah.
Pemikirannya tentang Wahdat al-Wuju>d banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran filsafat. Dia menggambarkan bahwa realitas wujud itu hanya satu, yaitu wujud Tuhan. Sedangkan yang lainnya hanyalah merupakan manifestasi. Dia pun selanjutnya menyatakan bahwa antara wujud khalik dan makhluk tidak ada perbedaan. Karena yang sebenarnya wujud itu hanyala satu.
Selain itu, Ibnu Arabi memiliki konsep pemikiran yang lain, seperti insan al-ka>mil, tajalliyat, dan mahabbah. Karena keterbatasan dalam makalah ini tidak senjutnya menulis secara keseluran mengenai konsep pemikirannya. Namun, secara mendasar, Wahdat al-Wuju>d merupakan sentral dari semua pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA


Addas, Claude. Mencari Belerang Merah  : Kisah Hidup Ibnu Arabi, terj. Zaimul Am Jakarta : Serambi, 2004.
Chittick, William C. “Ebnol ‘Arabi’s Doctrine of the Onness of Being. Winter : 1989.
al-Fayyadl, Muhammad.Teologi negative Ibnu Arabi
al-Hakim, Su’ad. al-Mu’jam al-Sufi, al-Hikmah Fi Hududi al- Kalimah. Beirut: 1981.
Ibnu Arabi. Syajarat al-Kauni. Riyadl, 1985.
_________. Tarjuman al-Asywaq. Beirut : Dar Shadr, 2003. cet ke-3
_________ al-Futuhat al-Makkiyah, 4 vol. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubra, 1329/1911, dicetak ulang di Beirut: Dar al-Fikr, t.h.
Ibnu Arabi. Fusu>s al-Hikam. Beirut : Da>r al-Kitab al-Arabi, tt.
Noer, Kautsar Azhari. Ibn Arabi, Wahdatul Wujud Dalam Perdebatan. Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, II. Jakarta : UI-Pres, 2002
al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Funaimi. Madkhal ila al- Tashawwuf al- Islami. Kairo: Dar-al Shaqofah, 1976.
Zaini, M. Fudoli. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya. Surabaya : Risalah Gusti, 2000.



[1]  Ibnu Arabi. Futuhat, III., 485-486
[2] Suku ini berasal dari nama nenek moyang mereka yang bernama Hatim bin Abdullah al-Ta’i yang lahir dan meninggal di Najd, suatu kawasan antara Madinah dan Syam.. Dia sendiri merupakan penyair masa jahiliyah yang memiliki lembaga syair sendiri. Kebanyakan syair-syairnya telah hilang dan hanya menyisakan kumpulan yang sedikit.
[3]  Ibnu Arabi. Syajaratul Kauni. (Riyadl, 1985), 11
[4]  Ibid.
[5]  Ibid., 12
[6]  Muhammad al-Fayyadl. Teologi Negatif., 34
[7]  Claude Addas. Mencari Belerang Merah  : Kisah Hidup Ibnu Arabi, terj. Zaimul Am (Jakarta : Serambi, 2004 ), 412-413
[8]  M. Fudoli Zaini. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya. (Surabaya : Risalah Gusti, 2000), 101
[9]  Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi, Wahdatul Wujud Dalam Perdebatan, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995 ), 18
[10]   Muhammad al-Fayyadl. Teologi Negatif Ibnu Arabi, Skripsi. (), 35
[11]  Ibid., 36
[12]  Claude Addas. Mencari Blerang…, 90
[13]  Ibid.
[14]  Khirqoh adalah jubah atau pakaian khusus yang biasa dikenakan oleh seorang  sufi untuk menunjukkan derajat spiritual tertentu. Dalam tradisi tasawuf, pewarisan khirqoh dari seorang sufi ke sufi yang lain menunjukan adanya hubungan spiritual yang terikat antara guru dan murid.
[15]  Muhahammad al-Fayyad. Teologi Negatif…, 40
[16]  Ibid., 42
[17]  Ibid., 43
[18]  Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi, Wahdatul Wujud Dalam Perdebatan, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995 ), 18
[19]  Muhammad al-Fayyyadl.Teologi Negatif…, 43
[20]  Ibnu Arabi. Tarjuman al-Asywa>q. (Beirut : Dar Shadr, 2003) cet ke-3, 9
[21]  Muhammad al-Fayyadl. Teologi Negatif..., 44
[22]  Ibid., 45
[23] Ibid., 24.
[24]  William C. Chittick, Ebnol ‘Arabi’s Doctrine of the Onness of Being, (Winter : 1989), 256.
[25]  Su’ad al-Hakim, al-Mu’jam al-Sufi, al-Hikmah Fi Hududi al- Kalimah, (Beirut: !981), 1154
[26] Ibn ‘Arabi. al-Futuhat al-Makkiyah, 4 vol. (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubra, 1329/1911, dicetak ulang di Beirut: Dar al-Fikr, t.h.) 2, 516
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29]  Abu al-Wafa’ al- Funaimi al- Taftazani, Madkhal ila al- Tashawwuf al- Islami, (Kairo: Dar-al Shaqofah, 1976), 246.
[30]  Ibnu Arabi. al-Futuhat…, 3:274; 4:39, 2:486.
[31]  Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, II. (Jakarta : UI-Pres, 2002) cet-1, 71
[32]  Ibnu Arabi. Fusu>s al-Hikam. (Beirut : Da>r al-Kitab al-Arabi, tt), 68-69
[33]  Ibid., 35
[34]  Ibid. hal 36

0 komentar:

Posting Komentar

ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIEN