Era modern yang
ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi ledakan besar
kemajuan manusia dalam berbagai lini kehidupan. Era ini merupakan era puncak intelektualitas manusia,
dimana akal sudah mampu melewati batas-batas yang tak mampu dilampaui oleh
manusia sebelumnya. Dengan kemampuan akalnya manusia sudah menjangkau daratan, lautan,
dan angkasa sekaligus dengan mudah. Bahkan perkembangan
terakhir kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
ini menunjukkan bahwa kemampuan manusia itu sudah dapat menembus atmosfir dan ruang angkasa yang luas di
langit hingga dapat menyelam dasar lautan sampai
kedalaman 200 m. Barat menyebut masa modern ini dengan Age of Reason atau Englightenment,
yaitu masa akal atau masa terang.
Sejak kebangkitan Eropa Meletus dengan
munculnya zaman Renaisance pada abad ke 15-16 di Perancis dan berlanjut
ke zaman modern pada abad ke17, Eropa memasuki babak baru. Renaissance
merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung
arti bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Manusia Barat mulai berfikir secara
baru dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas Greja yang
selama ini telah membelenggu kebebasan
berfikir dalam mencari kebenaran. Akal secara bebas mulai melepaskan diri dari
kungkungan tradisi maupun agama. Akal memainkan perannya sendiri dalam mencari
fakta-fakta baru ilmu pengetahuan. Sehingga penemuan demi menemuan ilmiah
ditelurkan meski harus berhadapan dengan doktrin Greja. Salah satunya adalah
penemuan teori heliosentrisme oleh Nicholas Copernicus (1473-1543 M) yang
mengemukan matahari sebagai pusat jagat raya dan bukan bumi sebagaimana dalam
teori geosentrisme yang dikemukakan oleh Ptolomeus yang diperkuat Greja.
Revolusi industri di Ingris ikut pula
memicu perkembangan ilmu pengetahuan modern. Pada sekitar abad ke 18 mesin uap
dan alat tenun ditemukan, dan Inggris menjadi penghasil tekstil terbesar yang
diikuti Amerika Serikat dan Jepang dalam menjadi Negara industri. Lalu abad
ke-19 ditemukan planet Neptunus, disusul penemuan planet Pluto pada abad ke-20
M. Perkembangan ini juga dialami oleh bidang-bidang keilmuan, seperti misalnya
teori informasi, logika matematika, fisika nuklir, kimia nuklir, antropologi
budaya, dan lain sebagainya. Semua ini menunjukkan bahwa aktivitas intelektual
manusia memiliki implikasi yang besar terhadap kehidupan manusia. Aktivitas intelektual
manusia mampu menciptakan inovasi-inovasi baru dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi, yang capaian hasilnya dapat kita jumpai sekarang ini. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan dan
menyelesaikan problematika kehidupan mereka.
Pincangnya Intelektualitas di Eropa
Kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di Eropa bersamaan pula dengan kemunduran dalam aspek spritual.
Polemik antara fakta penemuan ilmiah dengan doktrin Greja diakhiri dengan
kemenangan di pihak ilmu pengetahuan. Seperti doktrin Greja yang menyatakan
bahwa bumi itu datar dipatahkan dengan penemuan ilmiah Galileo dari Italia bahwa
bumi itu bulat yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Kondisi demikian memberikan
pengaruh yang besar bagi ilmu pengetahuan di satu pihak dan penolakan terhadap
doktrin Greja di pihak yang lain. Hal seperti inilah yang membuat spritualitas
di Eropa mulai terkikis dan tergusur dari aktivitas kehidupan.
Dalam kondisi demikian, di Eropa muncul
sekularisme, sebuah paham yang ingin memisahkan agama dari kehidupan manusia.
Urusan spritualitas menjadi semakin terpojok pada ruang-ruang individualitas.
Dan ilmu pengetahuan menampakkan arogansinya dengan adanya dominasi akal dalam
setiap cara pandang kehidupan. Bahwa akal dipandang segala-galanya dalam
memperoleh pengetahuan seperti dalam paham rasionalisme. Bahkan di Barat berkembang
pula paham materialisme, bahwa yang ril itu hanyalah hal-hal material
semata-mata. Dari materialisme berkembang paham posistivisme, yang mendasarkan
pemikiran pada hal-hal yang positif saja dengan menepis spritualitas dan
metafisika. Pada akhirnya, dengan kemajuan ilmu, Barat menyatakan kematian
agama. Dan kematian agama berarti pula kematian Tuhan (gott ist tot).
Marginalisasi spritualitas dari kehidupan
manusia di Barat dengan menepis hal-hal
metafisis memunculkan problem dehumanisasi, yaitu tersingkirnya manusia dari
nilai-nilai kemanusiannya sendiri. Barat telah kehilangan arah hidup dan hati
nurani. Sehingga yang muncul adalah peradaban hedonistik dan materialistik.
Bahwa di Barat roda kehidupan manusia berjalan tanpa adanya nilai-nilai moral
merupakan sebuah realitas yang tak bisa dipungkiri. Sehingga tidak mengherankan
jika tercatat dalam sejarah bahwa Barat menjadi inisiator meletusnya perang
dunia pertama dan kedua yang menelan jutaan manusia yang tidak berdosa. Hasil
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai digunakan ditangan Barat untuk
membunuh sesama manusia secara membabi buta. Kemajuan intelektual di Barat seperti
monster yang akan selalu menghantui perdamaian umat manusia.
Pincangnya spritualitas di dunia Islam
Di dunia Timur, khususnya dunia Islam yang
terjadi adalah sebaliknya, spritualitas tanpa intelektualitas. Sejak pintu
ijtihad ditutup pada sekitar abad ke 5 H/ 11 M kegiatan intelektualitas umat Islam
berangsur-angsur menurun dan peranan akal kurang mendapatkan perhatian yang
serius dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kegiatan intelektualitas umat Islam
justru meningkat tajam pada periode-periode sebelumnya, khususnya pada masa
khilafah Abbasiyah. Peranan akal mendapatkan perhatian yang serius di era
tersebut yang ditunjukkan dengan dijadikannya aliran Muktazilah sebagai paham
resmi Negara, dimana akal mendapatkan apresiasi yang tinggi. Di era tersebut
kemajuan terjadi dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi dimana peradaban
lain masih belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi.
Apresiasi yang tinggi terhadap akal
mendorong kegiatan intelektualitas umat Islam meningkat tajam, bahkan mencapai
puncak peradaban yang gemilang dengan aktivitas dan penemuan ilmiah. Misalnya
seperti al-Fazari, seorang astronom Islam pertama yang membuat astrolabe,
sebuah alat untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya. Al-Khawarizmi
sangat terkenal dengan teori matematikanya yaitu al-goritme, dimana
istilah ini diyakini berasal dari namanya. Ilmu pengetahuan juga mengalami
kemajuan dalam lapangan kedokteran, kimia, geografi, optika, fisika, filsafat,
logika, dan lain sebagainya. Semua ini menunjukkan bahwa kegiatan
intelektualiatas dengan mengapresiasi akal menghasilkan kemajuan peradaban
manusia, khususnya umat Islam pada waktu itu. Namun ditutupnya pintu ijtihad
tersebut meredupkan suasana intelektualitas yang sudah terang benderang
sebelumnya.
Ditutupnya pintu ijtihad ini dalam ruang
ilmiah memiliki implikasi yang besar bagi kehidupan umat Islam secara menyeluruh.
Kehidupan yang dinamis berubah menjadi kehidupan yang statis. Umat Islam mulai
berhenti berfikir dan berusaha. Dalam aspek fiqih misalnya, umat Islam hanya
mau melakukan taklid, yaitu mengikuti pendapat imam-imam besar dengan cara
langsung mengambil hasilnya tanpa harus mengetahui bagaimana prosesnya. Buku-buku
fiqih yang ditulis hanya berbentuk syarah dan hasyiah, yaitu berupa
penjelasan pada buku-buku yang pernah ditulis sebelumnya tanpa adanya
penemuan-penemuan baru. Pada intinya umat Islam sudah tidak ingin lagi
meramaikan ruang-ruang ilmiah dan fokus mereka beralih pada pengembangan bidang
spritualitas.
Masa peralihan ini dapat dibaca dengan munculnya tarikat-tarikat sufi yang dimulai
pada abad ke 11 M yang diawali oleh tarikat al-Qodiriah, yaitu tarikat yang
dihubungkan dengan seorang sufi besar, Syeh Abdul Qodir al-Jilani (1078-1166
M). Tarikat ini segera meninggalkan pengaruh yang besar di berbagai dunia Islam
seperti di Maroko, Sudan, Turki, Turkistan, Irak, India, Cina, dan Indonesia. Lalu disusul oleh
tarikat-tarikat yang lain seperti tarekat al-Syadiliah, Mawlawiyah, al-Naqsyabandiyah,
al-Bektasyiah, dan lain-lainnya yang kemudian mengelilingi kehidupan berfikir
umat Islam.
Persoalnnya adalah paradigma umat Islam yang
memprioritaskan aspek spritualitas dengan melupakan aspek intelektualitas. Adanya keyakinan bahwa dunia
ini bersifat rendah dan hina dipahami umat Islam dengan cara meninggalkan
aktivitas keduniawian menuju aktivitas kerohaniaan, yaitu mengejar kehidupan
akhirat dengan segala aktivitas spritual. Oleh karenanya, yang berkembang di
dunia Islam adalah tarekat sufi dan bukan kemajuan ilmu pengetahuan sebagaimana
yang dicapai masa-masa sebelumnya.
Dominasi spritualitas ini berkembang di
dunia Islam hingga memasuki masa modern, sebuah masa dimana Barat sudah memasuki
babak baru dengan capaian kemajuan ilmu pengetahuan. Sementara dunia Islam masih
dililit oleh paradigma lama yang disalah-gunakan. Sebagai akibatnya, umat Islam
berangsur-angsur mengalami kemunduran. Kemunduran berfikir berimplikasi pada
kemunduran di bidang lainnya, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, politik,
ekonomi, dan militer. Puncak dari kemunduran ini adalah kekalahan umat Islam dalam
menghadapai imperialisme Barat dan kekalahan khilafah Utsmaniyah pada perang
dunia pertama.
Menuju Manusia Paripurna
Fakta-fakta sejarah diatas, baik di Barat
maupun di Timur setidaknya dapat menjadi ibrah (pelajaran) yang sangat penting
dalam memelihara peradaban manusia secara utuh. Bahwa peradaban yang baik harus
dibangun berdasarkan nilai-nilai kemanusian secara sempurna. Kesempurnaan itu
bisa dicapai dengan memelihara aspek kemanusiannya dengan segala totalitas yang
dimilikinya. Sebab spritualitas umat Islam di timur menjadi penyebab kemunduran
saat meninggalkan intelektualitas. Sedangkan intelektualitas di Barat tanpa
spritualitas telah menjadi bumerang bagi kemanusiaan. Sehingga melakukan keseimbangan
intelektual dan spiritual sangat penting bagi manusia dalam mencapai
kesempurnaanya sebagai manusia.
Murtadha Muthahhari, salah seorang
Intelektual ulama arsitek Revolusi Islam Iran 1979 di samping
Ayatullah Khomeini dan Ali Syari’ati, mengutarakan dengan fasih mengenai
ciri-ciri manusia yang memiliki kualitas kesempurnaan yang disebutnya
dengan insan kamil (manusia paripurna). Dia mengutarakan
bahwa insan kamil adalah manusia yang mengembangkan semua kualitas yang baik secara
seimbang. Kualitas itu boleh jadi adalah cinta kasih, intelek, keberanian,
kejujuran, atau kreativitas. Manusia yang hanya mengembangkan cinta saja dengan
mengesampingkan intelek bukan insan kamil. Ia sufi yang ekstrem. Manusia
yang memuja akal secara berlebihan juga bukan insan kamil. Ia filosof
yang kering. Manusia yang mengagungkan keberanian saja untuk mencapai kekuasaan
juga bukan insan kamil. Ia monster yang menakutkan. Manusia yang tahan
dikubur empat puluh hari tetapi sangat terbelakang dalam pengetahuan bukan insan
kamil. Ia hanyalah fakir yang menarik dalam memberikan tontonan, bukan tuntunan.
Jadi Insan kamil atau yang disebut dengan
manusia paripurna merupakan totalitas kemanusian, dimana adanya potensi diri
dapat dioptimalkan dengan sebaik-baiknya. Potensi diri ini merupakan instink
yang diberikan Tuhan kepada manusia secara sempurna untuk menjadikannya sebagai
makhluk yang sempurna sebagai konsekuensi logis dari statusnya sebagai khalifah
fil al-ardh (mandataris Tuhan di muka bumi). Oleh karenanya manusia
dibekali dengan indera, akal, dan hati yang melebihi ciptaan lainnya. Indera
bersifat material yang diperuntukkan pada hal-hal yang berhubungan dengan
materi. Akal bersifat intelek yang diperuntukkan pada hal-hal yang berhubungan
dengan pikiran. Sementara hati bersifat rohaniyah yang diperuntukkan pada
hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan spritual.
Maka menjadi manusia yang mempunyai
kualitas kesempurnaan harus dengan cara menyeimbangkan segala potensi positif
diri antara jasmani dan rohani, individu dan sosial, duniawi dan ukhrowi, serta
intelektual dan spiritual. Oleh karena itu manusia
paripurna bukanlah oknum sufi yang menutup pikiran, mata, dan telinga
dari ganasnya sistem thagut yang diaplikasikan kaum mustakbirin dan munafikin seperti yang ada di negri
ini. Bukan pula semacam filosof gadungan
yang membaca realitas secara serampangan. Pandangan dunia dan aplikasi
perbuatan manusia paripurna berbeda seratus delapan puluh derajat dengan oknum
intelektual yang hanya menuhankan akalnya dan melacurkan
diri dalam lingkungan materialisme. Dalam al-Qur’an, Allah tidak hanya
mengapresiasi manusia yang memiliki kulitas keimanan, akan tetapi juga mereka yang
memiliki kualitas bidang keilmuan. Artinya manusia paripurna harus
mengembangkan kualitas iman dan ilmu pengetahuan secara keseluruhan.
Di samping itu, al-Qur’an menyiratkan bahwa
kesempurnaan manusia merupakan totalitas dari tiga aspek kemanusiaan, yaitu
sebagai basyar, an-nas, dan al-insan. Sebagai basyar, manusia
adalah makhluk biologis yang membutuhkan makan-minum dan berkembang biak. Dalam
aspek ini manusia tidak bisa melepaskan diri dari hal-hal yang berhubungan
dengan materi atau jasmani, termasuk juga aktivitas keduniawian. Sebagai an-nas,
manusia merupakan makhluk social dimana mereka harus hidup berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai al-insan, manusia
merupakan makhluk psikologis dan spiritual. Oleh karena itu, ketiganya merupakan
aspek mendasar yang harus digunakan secara seimbang. Karena bagi manusia, tidak
semua hal bisa diselesaikan dengan materi, tapi manusia juga membutuhkan
hal-hal yang bersifat spiritual. Disinilah manusia membutuhkan keyakinan dan
agama dalam menopang kehidupannya.
Oleh karenanya, paham materialisme dan
positivisme di Barat tidak akan mampu bertahan dalam kehidupan. Sebab
materialisme dan positivisme hanya melahirkan dehumanisasi, yaitu menjauhkan
manusia dari nilai-nilai kemanusiaan. Padahal manusia tidak akan mampu membuang
fitrahnya sendiri. kemajuan intelektual di Barat tidak bisa menjawab semua persoalan
kemanusian. Sehingga sejumlah problematika pun muncul karena mereka mengalami
kekeringan spiritual. Maka muncullah fenomena baru abad ini bahwa Barat mencari
jalan spritual yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan mereka.
Fenomena banyaknya orang-orang Eropa yang mulai memeluk Islam adalah fakta
bahwa Eropa sedang membutuhkan penyelesaian spiritual. Jadi tidak mengherankan
jika Prof. Dr. Roger Garaudy, seorang filosof kenamaan asal Perancis pernah mengutarakan
bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar bagi kemelut yang melanda Eropa.
0 komentar:
Posting Komentar