Wahdatul
Wujud
Sentral
PemikiranTasawuf Ibnu Arabi
(560
H/165 M-638
H/1240 M)
Cinta paling yang mulia yang pernah kurasakan adalah cinta yang
membuat seseorang merasakan hasrat batin, hasrat bergelora, takluk dan hening,
yang membuat orang tidak dapat tidur
dan makan, membuatnya tak tahu untuk siapa dan karena siapa….aku merasakannya
sendiri saat aku tiba di Syiria. Aku merasakan hasrat aneh (maylan majhulan)
selama beberapa saat, di tengah-tengah pengembaraan spiritual dalam bentuk
imajinal dan ragawi… aku mencintai, namun aku tak tahu siapa yang
kucintai..adakah kekasihku penciptaku, ataukah Dia cintaku? pernahkah seorang
pecinta mengatakan hal ini…[1]
A. PENDAHULUAN
Islam
kaya akan khazanah-khazanah keilmuan. Kekayaan itu berkat dorongan kitab
sucinya sendiri yang senantiasa memberikan tempat yang seluasnya bagi hadirnya
interpretasi terhadap teks. Interpretasi pun bisa berkembang dalam berbagai
konteks perkembangan zaman. Sehingga dari sana banyak hasil pemikiran muncul
dalam berbagai ranah keilmuan, yang kemudian memungkinkan kita bisa merasakan
hadirnya agama dalam suasana yang lapang dan mudah.
Sesuai
dengan kekayaan khazanah itu pula, dalam Islam telah muncul banyak kelompok
dengan berbagai pemikiran mereka yang berusaha menghadirkan agama ke dalam
ruang-ruang dimana mereka berada. Dan diantara kelompok-kelompok itu ada yang
belum merasa puas dengan hadirnya agama yang dijalankan secara lahiriyah saja,
misalnya dengan hanya menjalankan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Mereka
ini ingin menghadirkan agama sampai pada bagiannya yang paling mendalam. Bukan
hanya sekedar dijalankan, melainkan pula dirasakan dengan penuh perenungan.
Mereka inilah yang disebut-sebut sebagai kelompok sufi atau tasawuf. Paham ini
juga dikenal dengan sitilah mistik atau mistisisme.
Tujuan
dari mistisisme ini adalah berusaha dengan seungguh-sungguh untuk melakukan
hubungan yang sedekat-dekatnya dengan Tuhan. Bahkan ingin merasakan langsung di
hadirat Tuhan itu.
Oleh
karena jalan menuju Tuhan itu tersedia dengan seluasnya, maka banyak cara dan
pendekatan yang bisa dilakukan. Inilah kemudian yang memungkinkan kaum sufi
mengalami pengalaman spiritual yang berbeda-beda mana kala mereka sedang
mengadakan pendekatan pada Tuhan. Dilakukan dengan tahapan yang berbeda-beda
pula. Sehingga pengalaman mereka ini mengilhami pemikiran dalam ilmu tasawuf
dengan ciri khasnya masing-masing. Salah satunya adalah Ibnu Arabi yang
terkenal dengan paham wahdat al-wuju>d.
Ibnu
Arabi dikenal sebagai tokoh besar dalam sejarah pemikiran tasawuf. Latar
belakang hidupnya serta perjalanan spritualnya yang unik membuat
pemikiran-pemikiran tasawufnya berpengaruh di berbagai belahan dunia Islam,
baik di Barat maupun Timur. Di Indonesia Hamzah al-Fansuri merupakan salah yang
terpengaruh dengan ajarannya, wahdat al-wuju>d.
Menyelami
pemikirannya yang luas ini sangatlah menarik. Disamping wawasan keilmuannya
yang luas dan banyak sekali melahirkan karya, pemikiran tasawufnya bercirikan
pemikiran-pemikiran filsafat. Ada yang memang menduganya bahwa pemikirannya
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dalam filsafat, baik Islam maupun Yunani. Dalam
salah satu riwayat dia memang mempelajari filsafat Plotinus, meski dari
referensi sekunder. Bahkan tercatat pula dia pernah belajar filsafat dari
seorang filosof Yahudi di Spanyol.
Dengan
berbagai latar belakang dan pemikirannya yang unik itu, konsep tasawufnya
digolongkan pada tasawuf-falsafi. Konsep pemikirannya yang utama berupa wahdat
al-wuju>d sarat dengan pemikiran filsafat.
B. BIOGRAFI
IBNU ARABI
1. Riwayat
Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar
Muhammad Ibn Ali. Dia berasal dari suku Hatim al-Tha’i[2],
yaitu salah satu suku dari bangsa Arab yang terletak di Najd, sebuah kawasan
antara Madinah dan Syam.[3]
Dia biasa dipanggil Muhyiddin (yang menghidupkan agama), al-Syaikhul Akbar (Guru
besar), dan putra Platonis.[4]
Tetapi yang paling populer diantaranya adalah Ibnu Arabi.
Selain dari Ibnu Arabi yang
dikenal dalam dunia tasawuf ini masih ada lagi Ibnu Arabi yang juga cukup
terkenal. Yaitu Abu> Bakr Muh}ammad ibn ‘Abd
Allah ibn al-‘Arabi> al-Ma’a>rifi> (468-543 H/1076-1148 M), seorang
ahli hadits di Seville, salah kota di Spanyol. Akan tetapi pembahasan ini tetap
fokus pada Ibnu Arabi yang pertama, seorang tokoh tasawuf yang sangat terkenal,
bahkan dalam sepuluh abad terakhir ini dikatakan belum ada yang menandingi
kebesaran namanya di dunia tasawuf, selain dari pada al-Ghazali.
Ibnu Arabi dilahirkan di kota
Murcia, Spanyol bagian utara pada tanggal 17 Ramadlan 560 H (28 Agustus 1165
M). Dia hidup pada masa khilafah al-Mustanjid dari dinasti Abbasiyah.[5]
Di masa itu kondisi Spanyol sendiri
sedang mengalami kondisi politik yang memanas. Dinasti al-Mura>bitu>n dijatuhkan
oleh dinasti al-Muwa>hhidu>n. Sebelumnya kondisi yang tidak menentu sudah
berlangsung dengan datangnya pemberontakan sekelompok tentara Kristen yang
menyebut diri mereka reconcuista (para penakluk). Mereka tengah berupaya
merebut Spanyol dari tangan umat Islam. Pada tahun 1085 M Alphonso VI mampu
menaklukkan Toledo dan berlanjut merebut Saragosa pada tahun 1118 M.[6]
Di tengah situasi itulah Ibnu Arabi kemudian lahir dan dibesarkan.
Ibnu Arabi hidup dan dibesarkan
di lingkungan kekuasaan. Ayahnya adalah seorang pejabat pada Dinasti al-Muwahhidun.
Bahkan dia dua kali pernah menjabat sebagai orang kepercayaan istana al-Muwahhidun
pada dua periode, Abu Ya’qub Yusuf dan raja al-Mukmin III. Sedangkan dari pihak
ibu, dia memiliki paman bernama Yahya ibnu Yughan al-Shanhaji yang juga menjadi
seorang penguasa di Tlemcen.[7]
Fakta yang menarik adalah bahwa di
kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia
pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan
zahid.
2.
Riwayat Pendidikan dan Perjalanan Spritualnya
Pada
tahun 568 H/ 1172 M, tepat di usianya yang kedelapan Ibnu Arabi meninggalkan
kota kelahirannya itu untuk menuju kota Lisabon. Di kota ini dia menerima
pendidikan agama Islam yang pertama dari seorang guru yang bernama Syekh Abu
Bakar ibnu Khallaf.[8]
Dari gurunya ini, dia belajar membaca al-Qur’a>n dan hukum-hukum Islam.
Setelah itu dia pindah ke kota Seville dan menetap di kota ini selama kurang
lebih 20 tahun. Kota ini selain dikenal sebagai kota ilmu pengetahuan juga
terdapat kegiatan-kegiatan sufistik dengan banyak guru-guru sufi di dalamnya.
Di
Seville ini Ibnu Arabi memulai pendidikannya dengan pelajaran-pelajaran yang
umum. Pada saat itu ialah al-Qur’a>n, hadits, fiqh, theologi, filsafat
skolastik, dan ilmu kalam. Keberhasilannya dalam pendidikan didukung oleh
kecerdasan otaknya. Disamping itu kedudukan ayahnya sebagai pejabat dan orang
kepercayaan di istana al-Muwahhidu>n ikut serta mengantarnya sebagai seorang
sekretaris gubenur Seville di usianya yang masih muda.[9]
Setelah itu dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Maryam.
Meskipun Ibnu Arabi hidup di
tengah lingkungan istana, bahkan menduduki posisi jabatan yang penting, akan
tetapi hal itu tidaklah menarik perhatiannya. Tidak berlangsung lama Ibnu Arabi
telah menanggalkan semua status sosialnya itu. Dia lebih memilih jalan sufi.
Dan memasuki usia 20 tahun Ibnu Arabi mulai memasuki maqom tasawwuf yang
pertama, yaitu bertaubat dari semua kemewahan dan segala atribut status sosialnya.[10]
Sejak
saat itu, dia banyak mengunjungi berbagai kota di Spanyol untuk berguru. Dia
tidak membeda-bedakan setiap orang yang pernah ditemuinya, baik dari kalangan
ahli fiqh, ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf. Setiap orang yang bisa ditemuinya
dijadikannya sebagai guru untuk menambah wawasan dan pengetahuannya. Tidak
heran jika dia mempunyai guru-guru yang banyak dari berbagai madzhab dan
aliran. Dan salah satu yang membuat terkesan baginya adalah ketia dia bertemu
dan dapat berdialog langsung dengan Ibnu Rusyd, seorang tokoh filosof
paripatetik yang sangat terkenal.
Memasuki usia 28 tahun pada 1193
M, Ibnu Arabi melakukan perjalanannya yang pertama keluar semenanjung Iberia.
Di tahun itu dia pergi ke Tunis untuk mempelajari kita Khal’ al-Na’layn yang
dikarang oleh Ibnu Qoshi, seorang tokoh sekaligus pemimpi sufi yang memberontak
pada Dinasti al-Murabitu>n. Ibnu Arabi sendiri memberikan ulasan terhadap
kitab itu mengenai kekagumannya. Tetapi dia pula memperlihatkan kekecewaannya
pada tokoh sufi itu dan menganggapnya sebagai seorang pendusta karena dia telah
terbukti mengaku sebagai seorang mahdi yang akan menyelamatkan Spanyol.[11]
Di samping itu, Ibnu Arabi mempelajari
kitab al-hikmah yang dikarang oleh Ibnu Barrajan, seorang tokoh sufi
yang juga pernah menjadi pemberontak sebagaimana Ibnu Qoshi. Tetapi Ibnu Arabi mempelajari
kitab itu melalui seorang guru yang bernama Abdul al-Aziz al-Mahdawi, seorang
sufi yang dikenal kedalaman wawasaannya dalam bidang tasawuf dan filsafat.[12]
Di tahun 1194, Ibnu Arabi kembali
melanjutkan perjalanan. Kali ini dia menuju kota Fez di Maroko. Kepergiannya ke
kota ini menimbulkan dugaan bahwa dia ingin menghindar dari suasana konflik
yang terjadi di Andalusia. Akan tetapi sebenarnya kepindahan Ibnu Arabi ke kota
ini lebih bersifat spiritual karena Fez saat itu merupakan tempat perkumpulan
para sufi di Afrika Selatan.[13]
Maka di kota Fez ini, Ibnu Arabi
kemudian mengalami sejumlah momen spiritual yang penting. Dia lalu mencapai maqom
karomah, suatu kondisi spiritual yang dapat memungkinkannya mengetahui
masa depan. Selain itu, maqom ini membuat Ibnu Arabi dapat melihat
kondisi social politik yang terjadi di Andalusia tanpa menyaksikan langsung
dengan mata kepala. Di samping itu Ibnu Arabi juga mencapai maqom cahaya
yang dapat membuat Ibnu Arabi mengetahui hakikat jiwa dan badan. Disusul pula
dengan maqom fana’ (peniadan diri). Pada kondisi ini, Ibnu Arabi telah
merasakan dirinya telah lebur dalam cahaya.
Di kota Fez ini pula Ibnu Arabi bertemu
dengan seorang ahli hadits sekaligus sebagai tokoh sufi yang bernama Muhammad
ibn Qosim ibn Abd al-Rahman al-Tamimi al-Fasi. Dalam pertemuan ini, al-Fasi menyerahkan
khirqoh[14]
kepada Ibnu Arabi. Sebelumnya Ibnu Arabi telah pernah ditahbis oleh seorang
gurunya, Abul Abbas al-Uryabi, yang disebut khirqoh khadiriyyah, karena
memiliki derajat spiritual dari nabi Khidir. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu
Arabi telah banyak memiliki hubungan spiritual dengan banyak sufi lainnya.
Setelah tinggal di Fez selama
empat tahun (dari tahun 1194-1198) Ibnu Arabi kemudian melanjutkan perjalanan. Akan tetapi terlebih
dulu dia kembali ke Andalusia dengan bermaksud pamit dengan guru-gurunya yang
ada disana. Lalu karena sebuah mimpi dan ilham yang diterimanya, Ibnu Arabi lalu
menulis sebuah kita yang berjudul Mawaqi’ al-Nujum, ditulis selama
sebelas hari. Buku ini adalah yang terakhir ditulisnya sebelum dia meninggalkan
Andalusia.[15]
Bersama Badar al-Habsyi dan
seorang sahabat lamanya di kota Fez, yang bernama Muhammad al-Hashshar, Ibnu
Arabi kembali berniat melanjutkan perjalanannya menuju Timur. Selama melewati
rute perjalanannya, dia menjalin hubungan dengan banyak para sufi.
Sebenarnya Ibnu Arabi pergi ke
Timur dengan tujuan akan melaksanakan ibadah haji. Maka selama perjalanan, dia
singgah ke berbagai tempat. Tempat yang pertama disinggahinya adalah Kairo.
Dari Kairo dia pun bergerak ke Mekkah. Akan tetapi tidak seperti biasanya jamah
haji pada umumnya yang bisa bertolak dari Kairo menuju Mekkah. Dia terlebih
dulu berniat ke Palestina. Dan sempat singgah di pusaran nabi Ibrahim di
Hebron. Lalu singgah pula di masjid al-Aqsho. Setelah itu dia baru bergerak ke Madinah
dan sempat singgah di makam nabi Muhammad saw. Sebelum akhirnya sampai di
tempat tujuannya semula, yaitu Mekkah.
Ada beberapa alasan kenapa Ibnu
Arabi tidak melewati rute yang semestinya dari Kairo ke Mekkah. Pertama,
dikatakan bahwa rute Kairo-Mekkah tidak aman sebagaimana yang pernah dituturkan
oleh Ibnu Batutah. Sehingga dia mesti melewati rute yang lebih jauh. Kedua,
karena Ibnu Arabi ingin berziarah ke makam para nabi yang pernah hadir dalam
mimpinya. Jadi lebih bersifat spiritual.
Dalam sebuah mimpi pula, Ibnu
Arabi melakukan mi’raj ke tujuh langit dengan ruhnya. Di langit yang pertama,
dia bertemu dengan nabi Adam dan berbincang dengannya. Secara berurut pula dia
bertemu di langit-langit berikutnya dengan nabi Isa, nabi Yusuf, nabi Idris,
nabi Harun, dan nabi Musa. Lalu dia akhirnya sampai ke langit yang ketujuh dan
disana dia bertemu dengan nabi Ibrahim. Perjalanannya ke Palestina yang sempat
berkunjung ke makam nabi Ibrahim di Herbron tersebut merupakan tanda secara
simbolik bahwa dia telah sampai di langit yang ke tujuh. Lalu saat dia sampai
di Mekkah adalah secara simbolik pula dia telah sampai di hadapan Allah swt.[16]
Dan inilah puncak dari perjalanan spiritual Ibnu Arabi.
Jadi Mekkah memiliki arti
penting bagi Ibnu Arabi sebagai puncak perjalanan spritualnya. Disana Ibnu
Arabi untuk pertama kalinya bermimpi telah dinobatkan sebagai pemaris nabi
Muhammad saw. Penobatan ini membuat Ibnu Arabi bisa mengerti semua rahasia dari
ajaran nabi Muhammad saw.[17]
Dalam hal ini dia sebenarnya telah mendapatkan apa yang disebut dengan al-Haqi>qoh
al-Muhammadiyah, sebuah derajat kewalian yang ada dari zaman azal hingga
akhir zaman. Dan dengan penobatan itu pula dia mendapatkan amanah untuk
menyebarkan agama Islam sebagai rahmatan
lil a>lami>n.
Di Mekkah ini pula hadir sesuatu
yang berkesan bagi Ibnu Arabi ketika dia bertemu dengan seorang gadis yang
sangat cantik dan terpikat oleh kecantikannya. Dia bertemu dengannya di dekat Ka’bah,
yang diketahui kemudian bernama Nizham, seorang putri dari imam Masjidil Haram yang
berasal dari Isfahan.[18]
Pertemuan yang mengesakan itu terus membekas dalam diri Ibnu Arabi dan
selanjutnya mengilhaminya untuk menulis buku Tarjuman al-Asywa>q (penafsir
kerinduan). Buku itu merupakan kumpulan syair-syair yang ditulisnya
untuk mengenang Nizham akan kecantikannya yang memikat Ibnu Arabi dan
menyadarkannya akan keindahan Tuhan dalam diri gadis itu. Oleh ulama Aleppo,
buku ini dituduh telah mengajarkan erotisme.[19]
Akan tetapi Ibnu Arabi membantahnya sendiri bahwa tujuan penulisan buku itu
adalah untuk tujuan spiritual.[20]
Di Mekkah ini pula Ibnu Arabi
menyelesaikan karya monumentalnya yang berjudul al-Futuha>t al-Makkiyah, yang
memuat semua pengalaman spritualnya. Buku yang tebalnya mencapai lebih
dari 6000 halaman itu diselesaikannya selama 19 tahun. Di saat penyelesaian
buku ini berlangsung, ditulis pula bukunya yang lain, seperti Hilyat al-Abda>l,
Taj al-Rasa>’il, Misyka>t al-Anwa>r, dan Ruh al-Quds.
Memasuki usianya yang ke empat
puluh tahun, aktifitas fisiknya kembali meningkat. Ibnu Arabi kembali melakukan
perjalananannya pada fase kedua di Timur. Itu terjadi sekitar tahun 600 dan 617
H. Dalam fase kedua ini, ada beberapa tempat yang tercatat pernah dikunjunginya,
yaitu Syiria, Palestina, Mesir, Iran, dan Hijaz. Di tempat yang disinggahinya
itu dia tidak pernah berlama-lama. Meski demikian selama itu pula
produktifitasnya semakin meningkat. Tercatat ada sebanyak 50 karya telah lahir
dari tangannya. Karya-karya itu umumnya ditulisnya dalam waktu yang singkat dan
beberapa diantaranya ada yang ditulis untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang
ditujukan kepadanya.[21]
Selain itu, Ibnu Arabi juga
pernah mengunjungi Asia Kecil melalui Aleppo. Disana dia pernah menetap di Konya
atas permintaan Majd al-Di>n Ishaq al-Ru>mi, ayah dari Shadr al-Di>n al-Qunawi>
yang kelak akan menjadi murid terdekatnya. Dalam salah satu sumber awal
tercatat pula bahwa Ibnu Arabi menikahi janda al-Qunawi>.
Beberapa waktu selanjutnya,
setelah melewati berbagai tempat, Ibnu Arabi pun pernah singgah pula di Baghdad
dan menetap disana selama empat tahun, dari tahun 608 H/1211 M hingga tahun 611
H/1214 M. Dari ibu kota Dinasti Bani Abbasiyah ini dia kembali lagi ke Mekkah dan
menulis al-Dhakha>’ir Wa al-A’la>q, sebagai komentarnya atas buku
sebelumnya yang berjudul Tarjuma>n al-Asywa>q.[22]
Tidak lama setelah itu, Ibnu
Arabi pun memasuki usia udzur. Pada tahun 620 H/1223 M dia memutuskan menetap
di Damaskus dan menghabiskan masa-masa akhir dari hidupnya. Disana dia ditemani
oleh murid terdekatnya, al-Qunawi>. Bahkan penguasa Damaskus
dari Dinasti Ayyubiyah bernama Muz}affar al-Di>n juga merupakan salah
seorang muridnya.
Di
Damaskus ini dia menulis kitab Fusu>s al-Hikam di tahun 627 H/1229.
Menurut pengakuannya sendiri, buku itu ditulisnya dengan didiktekan langsung
oleh nabi Muhammad saw dalam sebuah mimpi. Kitab ini lebih ringkas dan lebih
cepat pengerjaannya dari pada kitab al-Futu>ha>t, akan tetapi
lebih sulit. Dua tahu setelah itu dia merampungkan kitab al-Futu>ha>t
yang merupakan karya monumentalnya itu hingga disana dia wafat pada 22 Rabi’ul
Tsa>ni 638 H, bertepatan dengan 16
November 1240, di usia tujuh puluh tahun. Dia dimakamkan di Salihiyyah, di kaki
bukit Qasiyun di bagian utara kota
Damaskus.[23]
Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh dunia
Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
C. KONSEP
TASAWUF IBNU ARABI
Dalam sejarah pemikiran tasawuf
tercatat bahwa setiap sufi memiliki ciri khas pemikiran tasawuf yang berbeda
dari sufi lainnya sebagai efek dari pengalaman spiritual mereka yang
berbeda-beda. Begitu pula dengan Ibnu Arabi. Dia memiliki banyak konsep tasawuf
yang disebarnya dalam banyak buku yang ditulisnya. Sesuai dengan latar belakang
pendidikannya yang telah menampung banyak wawasan dan pengetahuan, Ibnu Arabi
memiliki konsep tasawuf yang berbau falsafi. Sehingga pemikirannya ini
digolongkan pada tasawuf-falsafi. Konsep tasawupnya yang paling terkenal ialah wahdat
al-wujud.
Meski Ibnu Arabi disebut-sebut
sebagai orang yang memiliki konsep wihdatul wujud, akan tetapi dalam banyak
karyanya istilah tersebut tidak ditemukan. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Arabi sendiri
tidak pernah menyebutkan konsep pemikirannya dengan nama-nama tertentu.
Namun, dalam sebuah penelitian
yang pernah dilakukan oleh W.C Chittick menujukkan bahwa Shadr al-Di>n al-Qunawi>
dalam perbincangannya tentang wujud Tuhan dan ke-esaan-Nya. Hasil penelitian
itu menunjukkan bahwa al-Qunawi>-lah sebagai orang pertama yang menggunakan
istilah Wahdat al-Wuju>d.[24]
Penelitian ini membatalkan dugaan Ibrahim Madkur dan Su’ad al-Ha>kim bahwa
Ibn Taimiyah adalah orang pertama yang menggunakan istilah ini.[25]
Meskipun demikian, dalam
tulisan-tulisannya memang dijumpai pemikiran Ibnu Arabi yan mengarah dan
menunjukkan pada istilah Wahdat al-Wuju>d tersebut. Misalnya seperti salah satu
tulisannya yang berbunyi :
فما
ظهر في الوجود الا الحق فالوجود الحق وهو
واحد
“Tiada yang tampak dalam wujud melalui
wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-Haqq, dan Dia adalah satu”[26]
، وعين الوجود واحد والأحكام مختلفة
“Entitas wujud adalah satu, tetapi
hukum-hukumnya beraneka.”[27]
Dengan demikian tidak salah
mengalamatkan konsep Wahdat al-Wuju>d ini pada Ibnu
Arabi selaku tokoh sufi yang pertama kali mengeluarkan pemikiran itu.
1.
Wahdat al-Wuju>d
Secara harfiyah Wahdat al-Wuju>d bermakna kesatuan wujud. Dan
secara mendasar paham ini pula mengajarkan bahwa wujud itu hanyalah satu, yaitu
wujud itu sendiri, Allah swt.
Sebenarnya semua ini dimulai
dari kegelisahannya tentang hakikat Tuhan dan hakikat segala yang ada. Dia
kemudian mulai mempertanyakan tentang wujud dan hakikat dari wujud ini. Dia
merenungkannya dengan begitu mendalam. Dalam pikirannya, dia bertanya-tanya apa
yang dimaksud dengan wujud? Apa hakikat dari wujud? Apakah seseorang dapat
benar-benar mengerti tentang wujud?
Kegelisahan itu mengundang
analisa dalam pemikiran Ibnu Arabi tentang makna wujud itu. Jika wujud itu
bermakna ada maka ia dapat dipahami dari semua yang tampak dalam alam semesta
ini. Namun apakah yang ada itu merupakan yang sebenarnya wujud. Segala yang ada
ini menampakkan keberadaannya. Sementara keberadaan itu sendiri adalah
eksistensi. Tapi apakah eksistensi itu merupakan wujud yang sebenarnya. Sebab
baik ada maupun eksistensi yang ada tidak memiliki ada dalam dirinya sendiri.
Sehingga keduanya bukan merupakan wujud yang sebenarnya. Buktinya adalah
keduanya mengalami bentuk tidak tetap, berubah, dan bahkan bisa tiada.
Dengan demikian, yang hakikatnya
ada itu mesti bersifat tetap, tidak bergerak, dan tidak pula berubah.
Pandangan ini tampak seperti teori filsafat tentang gerak. Sesuatu yang tidak
pernah berubah dan tidak pernah bergerak itu adalah realitas ketuhanan, yang
secara harfiyah disebut dengan Allah.
Dengan begitu, Ibnu Arabi lalu
mempertanyakan realitas yang tampak ini. Sungguh realitas yang tampak baginya
tidak memiliki wujud dalam dirinya. Sebab hakikatnya ia tidak berwujud,
melainkan wujudnya karena wujud yang sebenarnya itu. Dan yang sebenarnya wujud
hanyalah satu, yaitu Allah. Inilah titik dimana pemikiran ibnu arabi tentang
wahdat al-wujud dimulai dan dikembangkan.
Dalam tulisannya, ibnu arabi
menjelaskan :
وهو
واحد في الوجود لأن الممكنات المرئية منعوته في هذه الحالة بالعدم فلا وجود لها مع
ظهورها للرائي
“Dia ( al-Haqq, Tuhan) adalah Esa dalam
wujud karena semua hal yang mungkin yang dapat dilihat itu, disifati dalam
keadaan ini dengan ketiadaan. Maka ia
(yang mungkin itu) tidak mempunyai wujud meskipun tampak bagi yang
melihat.”[28]
Inilah
salah satu keterangannya tentang kesatuan wujud itu. Kesatuan yang dimaksud
adalah satu wujud dalam realitasnya, yaitu wujud itu sendiri. Sedangkan selain
bukanlah wujud yang sejati. Karena baik wujud maupun eksistensi wujudnya masih
bergantung kepada wujud dalam hakikatnya. Maka selain yang hakikatnya wujud itu
tidak bias disebut wujud.
Meskipun begitu Ibnu Arabi tetap memakai istilah wujud untuk
selain yang wujud itu atau selain Allah. Namun wujud dalam pengertiaan selain
Allah ini baginya dimaknai secara metaforis (majaz) untuk tetap mempertahankan
bahwa wujud yang sebenarnya itu hanyalah milik Tuhan. Sedangkan yang wujud pada
alam hanya merupakan wujud yang dipinjamkan kepadanya.[29]
Sebagaimana halnya cahaya yang sebenarnya hanya menjadi milik matahari. Tetapi
cahaya itu dipinjamkan kepada penghuni bumi.
Dengan menekankan pada satu wujud yang hakiki itu, Ibnu
Arabi memandang bahwa selain Tuhan itu tidaklah mempunyai wujud dalam
pengertian yang sebenarnya. Wujud hanyalah wujud Tuhan. Sedang wujud selainnya
hanyalah wujud yang dipinjamkan kepadanya dari Tuhan. Maka menurut ibnu arabi,
hubungan wujud dengan selain wujud itu adalah seperti cahaya dengan kegelapan.
Wujud itu adalah cahaya yang hanya dimiliki Tuhan, sedangkan adam (ketiadaan)
adalah kegelapan yang dimiliki alam.[30]
Oleh karena wujud yang sebenarnya adalah Tuhan, maka
selainnya adalah manifestasi (tajalliyat) dari Tuhan. Dalam artian bahwa
alam ini merupakan penampakan dari wujud Tuhan yang hakiki itu. Dia lalu
menggambarkan pemikiran logis ini dengan tajalliyat Tuhan seperti halnya simbol
wajah dalam cermin. Sebagaimana cermin yang digunakan untuk melihat penampakan
dari wajah. Setelah kita melihat cermin itu tampaklah dengan wajah dalam
cermin. Tetapi kita sendiri mengatahui bahwa wajah yang riel dan yang
sebenarnya bukanlah yang ada pada cermin, melainkan wajah itu sendiri. Karena yang
tampak dalam cermin hanya merupakan bayangan atau tajalliat dari wajah yang
sebenarnya. Sehingga realitas wujud yang sebenarnya hanyalah Esa, sedangkan
yang lain hanyalah manifestasi.
Substansi pemikiran dari tajalliyat ini nampaknya selaras
dengan yang terkandung dalam sebuah hadits qudsi yang berbunyi :
كنت كنزا مخفيا فاحببت ان
اعرف فخلقت الخلق فبي عرفوني
“Aku
adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal. Maka kuciptakanlah
makhluk. Mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.”[31]
Melalui hadits diatas Tuhan seperti memang ingin
bertajalliat untuk memperlihatkan diri-Nya. Maka alam merupakan tajalliat
Tuhan. Mengetahui alam akan semakin mengantarkan pengenalan kita pada hakikat
Tuhan.
Pemikiran seperti ini bagi Ibnu
Arabi sangat mungkin diketahui. Tuhan sebagai dzohir dapat diketahui dengan memperlihatkan dirinya
dalam suatu wadah manifestasi, yaitu dalam kosmos ini. Tetapi sebagai yang batin
Tuhan tak dapat diketahui dan dijangkau sama sekali dalam kosmos ini.
Karena alam ini adalah tajalliyat
Tuhan, maka antara tuhan dengan alam ini tidak bisa dipahami kecuali hanya dalam
kesatuan kontradiktif ontologis. Ibnu arabi mendasarkan pandangannya ini pada
uraian al-qur’an, bahwa Tuhan itu adalah al-Awwal (yang pertama)
dan al-A<khir (yang terakhir), al-Dzo>hir (yang tampak) dan
al-Ba>tin (yang tersembunyi), al-wa>hid (yang satu) dan al-Kha>tsir
(yang banyak), al-Qodi>m (yang terdahulu) dan al-Ha>dits (yang
baru), dan al-Wuju>d (yang ada) dan al-Adam (yang tiada).
Sehingga realitas itu hanyalah satu. Sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan
serta eksistensi dan non eksistensi adalah satu. Meski kedua sifat itu
bertentangan tetapi semuanya hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu di
alam ini.[32]
Maka bagi Ibnu Arabi, tidak ada
perbedaan dalam hakikatnya antara khalik dengan makhluk. Perbedaan itu muncul
karena keterbatasan pancaindera dan akal yang tak dapat menangkap hakikat
segala sesuatu, sementara segala sesuatu merupakan hakikat diri-Nya dan
berhimpun pada-Nya. Dalam pandangan yang terbatas antara khalik dan makhluk
merupakan dua wujud yang berbeda. Hal itu karena makhluk tidak bisa
memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandangnya dari suatu sudut bahwa
keduanya adalah khalik di satu sisi dan makhluk di sisi yang lain.
Meski paham tajalliyat
ini menyamakan semua realitas ini dalam kesatuan (wahdah) akan tetapi
memahami tajalliyat Tuhan pada alam yang banyak tidak bisa dipahami
secara parsial. Sebagaimana yang telah disimbolkan di atas dalam simbol cermin
dengan wajah, maka meski sebenar wajah yang sejati hanyalah satu, tetapi tajalliyat-nya
bisa tampak banyak dalam banyak cermin
yang bisa berbeda-beda pula. Sehingga memahami alam sebagai tajalliyat Tuhan
tidak bisa dipahami secara sebagian, melainkan secara menyeluruh dari semua tajalliyat
yang ada. Sedangkan pancaindera dan akal manusia sangat terbatas menjangkau
keseluruhannya.[33]
2. Insan al-Ka>mil
Selain dari konsep Wahdat al-Wuju>d, pemikiran tasawufnya juga
melahirkan konsep insan kamil. Insan kamil diterjemahkan sebagai insan yang
sempurna yang dalam pengertiannya adalah manusia yang mampu mengktualisasikan
seluruh potensi yang ada pada dirinya. Manusia yang demikian telah mencerminkan
sifat-sifat Tuhan kedalam dirinya.
Bagi Ibnu Arabi, manusia
merupakan tempat tajalli Tuhan yang paling sempurna, yang disebutnya
sebagai al-Kaun al-Jami>l. Sehingga manusia merupakan sentral wuju>d
yang tergambar kepadanya sifat-sifat ketuhanan. Disini manusia mempunyai posisi
yang tinggi dan mulia diantara tajalliyat Tuhan yang lainnya pada alam semesta.
Dalam tradisi ke-sufian, istilah insan kamil ini digunakan untuk seorang muslim
yang telah mencapai keperingkatan yang paling tinggi, dimana seseorang telah
sampai pada maqom fana’ fillah (sirna dalam diri Allah).
Oleh karenanya, meskipun alam
semesta ini merupakan tajalliyat Tuhan sebagai diri-Nya yang dzohir,
namun ia tak tergambar dan terbentuk kecuali bisa dilihat dalam tajalliyat
Tuhan pada diri manusia. [34]
D. KESIMPULAN
Ibnu arabi merupakan
sosok yang berpengaruh besar dalam pemikiran tasawuf. Dalam kepopuleran, dia
mampu menandingi al-Ghaza>li dalam kurun waktu sepuluh abad terakhir. Maka
membicarakan tasawuf tidak tidak boleh sosok sufi dari Andalusia ini.
Konsep tasawufnya
yang sangat terkenal ialah Wahdat al-Wuju>d.
Adalah buah panjang perjalanan spritualnya yang telah berlangsung selama
bertahun-tahun di bagian separuh terakhir dari umurnya. Perjalanannya itu
mempunyai pengaruh spiritual yang mendalam bagi Ibnu Arabi. Diantara buah spritualnya
banyak yang diilhami oleh mimpi, didiktekan langsung oleh Tuhan melalui Malaikat
seperti karyanya al-Futu>ha>t al-Makkiyah, dan yang didektikan
langsung oleh nabi Muhammad saw melalui sebuah mimpi pula yang kemudian
menghasilkan kitab Fusu>s al-Hikam. Selama perjalanan spritualnya itu
dia aktif sebagai penulis yang produktif. Konon, karya yang pernah ditulisnya
dikatakan berjumlah hingga 1000 buah.
Pemikirannya tentang
Wahdat
al-Wuju>d
banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran filsafat. Dia menggambarkan bahwa
realitas wujud itu hanya satu, yaitu wujud Tuhan. Sedangkan yang lainnya
hanyalah merupakan manifestasi. Dia pun selanjutnya menyatakan bahwa antara
wujud khalik dan makhluk tidak ada perbedaan. Karena yang sebenarnya wujud itu
hanyala satu.
Selain itu, Ibnu
Arabi memiliki konsep pemikiran yang lain, seperti insan al-ka>mil, tajalliyat,
dan mahabbah. Karena keterbatasan dalam makalah ini tidak senjutnya
menulis secara keseluran mengenai konsep pemikirannya. Namun, secara mendasar, Wahdat al-Wuju>d merupakan sentral dari semua
pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Addas,
Claude. Mencari Belerang Merah :
Kisah Hidup Ibnu Arabi, terj. Zaimul Am Jakarta : Serambi, 2004.
Chittick, William C. “Ebnol ‘Arabi’s
Doctrine of the Onness of Being. Winter : 1989.
al-Fayyadl,
Muhammad.Teologi negative Ibnu Arabi
al-Hakim, Su’ad. al-Mu’jam al-Sufi,
al-Hikmah Fi Hududi al- Kalimah. Beirut: 1981.
Ibnu
Arabi. Syajarat al-Kauni. Riyadl, 1985.
_________.
Tarjuman al-Asywaq. Beirut : Dar Shadr, 2003. cet ke-3
_________ al-Futuhat al-Makkiyah,
4 vol. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubra, 1329/1911, dicetak ulang di
Beirut: Dar al-Fikr, t.h.
Ibnu
Arabi. Fusu>s al-Hikam. Beirut : Da>r al-Kitab al-Arabi, tt.
Noer, Kautsar Azhari. Ibn Arabi,
Wahdatul Wujud Dalam Perdebatan. Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995
Nasution,
Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, II. Jakarta : UI-Pres,
2002
al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Funaimi. Madkhal
ila al- Tashawwuf al- Islami. Kairo: Dar-al Shaqofah, 1976.
Zaini,
M. Fudoli. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya. Surabaya :
Risalah Gusti, 2000.
[2] Suku ini berasal dari nama
nenek moyang mereka yang bernama Hatim bin Abdullah al-Ta’i yang lahir dan
meninggal di Najd, suatu kawasan antara Madinah dan Syam.. Dia sendiri
merupakan penyair masa jahiliyah yang memiliki lembaga syair sendiri.
Kebanyakan syair-syairnya telah hilang dan hanya menyisakan kumpulan yang
sedikit.
[3]
Ibnu Arabi. Syajaratul Kauni. (Riyadl, 1985), 11
[4]
Ibid.
[5]
Ibid., 12
[6]
Muhammad al-Fayyadl. Teologi Negatif., 34
[7]
Claude Addas. Mencari Belerang Merah
: Kisah Hidup Ibnu Arabi, terj. Zaimul Am (Jakarta : Serambi, 2004
), 412-413
[8]
M. Fudoli Zaini. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya.
(Surabaya : Risalah Gusti, 2000), 101
[9]
Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi, Wahdatul Wujud Dalam
Perdebatan, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995 ), 18
[10] Muhammad al-Fayyadl. Teologi Negatif Ibnu
Arabi, Skripsi. (), 35
[11]
Ibid., 36
[12]
Claude Addas. Mencari Blerang…, 90
[13]
Ibid.
[14]
Khirqoh adalah jubah atau pakaian khusus yang biasa dikenakan oleh
seorang sufi untuk menunjukkan derajat
spiritual tertentu. Dalam tradisi tasawuf, pewarisan khirqoh dari seorang sufi
ke sufi yang lain menunjukan adanya hubungan spiritual yang terikat antara guru
dan murid.
[15]
Muhahammad al-Fayyad. Teologi Negatif…, 40
[16]
Ibid., 42
[17]
Ibid., 43
[18]
Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi, Wahdatul Wujud Dalam
Perdebatan, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995 ), 18
[19]
Muhammad al-Fayyyadl.Teologi Negatif…, 43
[20]
Ibnu Arabi. Tarjuman al-Asywa>q. (Beirut : Dar Shadr, 2003)
cet ke-3, 9
[21]
Muhammad al-Fayyadl. Teologi Negatif..., 44
[22]
Ibid., 45
[23]
Ibid., 24.
[26]
Ibn ‘Arabi. al-Futuhat al-Makkiyah, 4 vol. (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah
al-Kubra, 1329/1911, dicetak ulang di Beirut: Dar al-Fikr, t.h.) 2, 516
[27]
Ibid.
[28]
Ibid.
[29]
Abu al-Wafa’ al- Funaimi al- Taftazani, Madkhal ila al- Tashawwuf
al- Islami, (Kairo: Dar-al Shaqofah, 1976), 246.
[31]
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, II. (Jakarta
: UI-Pres, 2002) cet-1, 71
[32]
Ibnu Arabi. Fusu>s al-Hikam. (Beirut : Da>r al-Kitab
al-Arabi, tt), 68-69
[33]
Ibid., 35
[34]
Ibid. hal 36