Widget Recent Post No.

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 26 Juli 2016

URGENSI KESEIMBANGAN INTELEKTUAL DAN SPRITUAL MENUJU MANUSIA PARIPURNA




Era modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi ledakan besar kemajuan manusia dalam berbagai lini kehidupan. Era ini  merupakan era puncak intelektualitas manusia, dimana akal sudah mampu melewati batas-batas yang tak mampu dilampaui oleh manusia sebelumnya. Dengan kemampuan akalnya manusia sudah menjangkau daratan, lautan, dan angkasa sekaligus dengan mudah. Bahkan perkembangan terakhir kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini menunjukkan bahwa kemampuan manusia itu sudah dapat menembus atmosfir dan ruang angkasa yang luas di langit hingga dapat menyelam dasar lautan sampai kedalaman 200 m. Barat menyebut masa modern ini dengan Age of Reason atau Englightenment, yaitu masa akal atau masa terang.
Sejak kebangkitan Eropa Meletus dengan munculnya zaman Renaisance pada abad ke 15-16 di Perancis dan berlanjut ke zaman modern pada abad ke17, Eropa memasuki babak baru. Renaissance merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Manusia Barat mulai berfikir secara baru dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas Greja yang selama ini  telah membelenggu kebebasan berfikir dalam mencari kebenaran. Akal secara bebas mulai melepaskan diri dari kungkungan tradisi maupun agama. Akal memainkan perannya sendiri dalam mencari fakta-fakta baru ilmu pengetahuan. Sehingga penemuan demi menemuan ilmiah ditelurkan meski harus berhadapan dengan doktrin Greja. Salah satunya adalah penemuan teori heliosentrisme oleh Nicholas Copernicus (1473-1543 M) yang mengemukan matahari sebagai pusat jagat raya dan bukan bumi sebagaimana dalam teori geosentrisme yang dikemukakan oleh Ptolomeus yang diperkuat Greja.
Revolusi industri di Ingris ikut pula memicu perkembangan ilmu pengetahuan modern. Pada sekitar abad ke 18 mesin uap dan alat tenun ditemukan, dan Inggris menjadi penghasil tekstil terbesar yang diikuti Amerika Serikat dan Jepang dalam menjadi Negara industri. Lalu abad ke-19 ditemukan planet Neptunus, disusul penemuan planet Pluto pada abad ke-20 M. Perkembangan ini juga dialami oleh bidang-bidang keilmuan, seperti misalnya teori informasi, logika matematika, fisika nuklir, kimia nuklir, antropologi budaya, dan lain sebagainya. Semua ini menunjukkan bahwa aktivitas intelektual manusia memiliki implikasi yang besar terhadap kehidupan manusia. Aktivitas intelektual manusia mampu menciptakan inovasi-inovasi baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang capaian hasilnya dapat kita jumpai sekarang ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan problematika kehidupan mereka.
Pincangnya Intelektualitas di Eropa
Kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa bersamaan pula dengan kemunduran dalam aspek spritual. Polemik antara fakta penemuan ilmiah dengan doktrin Greja diakhiri dengan kemenangan di pihak ilmu pengetahuan. Seperti doktrin Greja yang menyatakan bahwa bumi itu datar dipatahkan dengan penemuan ilmiah Galileo dari Italia bahwa bumi itu bulat yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Kondisi demikian memberikan pengaruh yang besar bagi ilmu pengetahuan di satu pihak dan penolakan terhadap doktrin Greja di pihak yang lain. Hal seperti inilah yang membuat spritualitas di Eropa mulai terkikis dan tergusur dari aktivitas kehidupan.
Dalam kondisi demikian, di Eropa muncul sekularisme, sebuah paham yang ingin memisahkan agama dari kehidupan manusia. Urusan spritualitas menjadi semakin terpojok pada ruang-ruang individualitas. Dan ilmu pengetahuan menampakkan arogansinya dengan adanya dominasi akal dalam setiap cara pandang kehidupan. Bahwa akal dipandang segala-galanya dalam memperoleh pengetahuan seperti dalam paham rasionalisme. Bahkan di Barat berkembang pula paham materialisme, bahwa yang ril itu hanyalah hal-hal material semata-mata. Dari materialisme berkembang paham posistivisme, yang mendasarkan pemikiran pada hal-hal yang positif saja dengan menepis spritualitas dan metafisika. Pada akhirnya, dengan kemajuan ilmu, Barat menyatakan kematian agama. Dan kematian agama berarti pula kematian Tuhan (gott ist tot).
Marginalisasi spritualitas dari kehidupan manusia  di Barat dengan menepis hal-hal metafisis memunculkan problem dehumanisasi, yaitu tersingkirnya manusia dari nilai-nilai kemanusiannya sendiri. Barat telah kehilangan arah hidup dan hati nurani. Sehingga yang muncul adalah peradaban hedonistik dan materialistik. Bahwa di Barat roda kehidupan manusia berjalan tanpa adanya nilai-nilai moral merupakan sebuah realitas yang tak bisa dipungkiri. Sehingga tidak mengherankan jika tercatat dalam sejarah bahwa Barat menjadi inisiator meletusnya perang dunia pertama dan kedua yang menelan jutaan manusia yang tidak berdosa. Hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai digunakan ditangan Barat untuk membunuh sesama manusia secara membabi buta. Kemajuan intelektual di Barat seperti monster yang akan selalu menghantui perdamaian umat manusia.
Pincangnya spritualitas di dunia Islam
Di dunia Timur, khususnya dunia Islam yang terjadi adalah sebaliknya, spritualitas tanpa intelektualitas. Sejak pintu ijtihad ditutup pada sekitar abad ke 5 H/ 11 M kegiatan intelektualitas umat Islam berangsur-angsur menurun dan peranan akal kurang mendapatkan perhatian yang serius dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kegiatan intelektualitas umat Islam justru meningkat tajam pada periode-periode sebelumnya, khususnya pada masa khilafah Abbasiyah. Peranan akal mendapatkan perhatian yang serius di era tersebut yang ditunjukkan dengan dijadikannya aliran Muktazilah sebagai paham resmi Negara, dimana akal mendapatkan apresiasi yang tinggi. Di era tersebut kemajuan terjadi dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi dimana peradaban lain masih belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi.
Apresiasi yang tinggi terhadap akal mendorong kegiatan intelektualitas umat Islam meningkat tajam, bahkan mencapai puncak peradaban yang gemilang dengan aktivitas dan penemuan ilmiah. Misalnya seperti al-Fazari, seorang astronom Islam pertama yang membuat astrolabe, sebuah alat untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya. Al-Khawarizmi sangat terkenal dengan teori matematikanya yaitu al-goritme, dimana istilah ini diyakini berasal dari namanya. Ilmu pengetahuan juga mengalami kemajuan dalam lapangan kedokteran, kimia, geografi, optika, fisika, filsafat, logika, dan lain sebagainya. Semua ini menunjukkan bahwa kegiatan intelektualiatas dengan mengapresiasi akal menghasilkan kemajuan peradaban manusia, khususnya umat Islam pada waktu itu. Namun ditutupnya pintu ijtihad tersebut meredupkan suasana intelektualitas yang sudah terang benderang sebelumnya.
Ditutupnya pintu ijtihad ini dalam ruang ilmiah memiliki implikasi yang besar bagi kehidupan umat Islam secara menyeluruh. Kehidupan yang dinamis berubah menjadi kehidupan yang statis. Umat Islam mulai berhenti berfikir dan berusaha. Dalam aspek fiqih misalnya, umat Islam hanya mau melakukan taklid, yaitu mengikuti pendapat imam-imam besar dengan cara langsung mengambil hasilnya tanpa harus mengetahui bagaimana prosesnya. Buku-buku fiqih yang ditulis hanya berbentuk syarah dan hasyiah, yaitu berupa penjelasan pada buku-buku yang pernah ditulis sebelumnya tanpa adanya penemuan-penemuan baru. Pada intinya umat Islam sudah tidak ingin lagi meramaikan ruang-ruang ilmiah dan fokus mereka beralih pada pengembangan bidang spritualitas.
Masa peralihan ini dapat dibaca dengan  munculnya tarikat-tarikat sufi yang dimulai pada abad ke 11 M yang diawali oleh tarikat al-Qodiriah, yaitu tarikat yang dihubungkan dengan seorang sufi besar, Syeh Abdul Qodir al-Jilani (1078-1166 M). Tarikat ini segera meninggalkan pengaruh yang besar di berbagai dunia Islam seperti di Maroko, Sudan, Turki, Turkistan, Irak, India,  Cina, dan Indonesia. Lalu disusul oleh tarikat-tarikat yang lain seperti tarekat al-Syadiliah, Mawlawiyah, al-Naqsyabandiyah, al-Bektasyiah, dan lain-lainnya yang kemudian mengelilingi kehidupan berfikir umat Islam.
Persoalnnya adalah paradigma umat Islam yang memprioritaskan aspek spritualitas dengan melupakan aspek  intelektualitas. Adanya keyakinan bahwa dunia ini bersifat rendah dan hina dipahami umat Islam dengan cara meninggalkan aktivitas keduniawian menuju aktivitas kerohaniaan, yaitu mengejar kehidupan akhirat dengan segala aktivitas spritual. Oleh karenanya, yang berkembang di dunia Islam adalah tarekat sufi dan bukan kemajuan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dicapai masa-masa sebelumnya.
Dominasi spritualitas ini berkembang di dunia Islam hingga memasuki masa modern, sebuah masa dimana Barat sudah memasuki babak baru dengan capaian kemajuan ilmu pengetahuan. Sementara dunia Islam masih dililit oleh paradigma lama yang disalah-gunakan. Sebagai akibatnya, umat Islam berangsur-angsur mengalami kemunduran. Kemunduran berfikir berimplikasi pada kemunduran di bidang lainnya, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, ekonomi, dan militer. Puncak dari kemunduran ini adalah kekalahan umat Islam dalam menghadapai imperialisme Barat dan kekalahan khilafah Utsmaniyah pada perang dunia pertama.
Menuju Manusia Paripurna
Fakta-fakta sejarah diatas, baik di Barat maupun di Timur setidaknya dapat menjadi ibrah (pelajaran) yang sangat penting dalam memelihara peradaban manusia secara utuh. Bahwa peradaban yang baik harus dibangun berdasarkan nilai-nilai kemanusian secara sempurna. Kesempurnaan itu bisa dicapai dengan memelihara aspek kemanusiannya dengan segala totalitas yang dimilikinya. Sebab spritualitas umat Islam di timur menjadi penyebab kemunduran saat meninggalkan intelektualitas. Sedangkan intelektualitas di Barat tanpa spritualitas telah menjadi bumerang bagi kemanusiaan. Sehingga melakukan keseimbangan intelektual dan spiritual sangat penting bagi manusia dalam mencapai kesempurnaanya sebagai manusia.
Murtadha Muthahhari, salah seorang Intelektual ulama arsitek Revolusi Islam Iran 1979 di samping Ayatullah Khomeini dan Ali Syari’ati, mengutarakan dengan fasih mengenai ciri-ciri manusia yang memiliki kualitas kesempurnaan yang disebutnya dengan insan kamil (manusia paripurna). Dia mengutarakan bahwa insan kamil adalah manusia yang mengembangkan semua kualitas yang baik secara seimbang. Kualitas itu boleh jadi adalah cinta kasih, intelek, keberanian, kejujuran, atau kreativitas. Manusia yang hanya mengembangkan cinta saja dengan mengesampingkan intelek bukan insan kamil. Ia sufi yang ekstrem. Manusia yang memuja akal secara berlebihan juga bukan insan kamil. Ia filosof yang kering. Manusia yang mengagungkan keberanian saja untuk mencapai kekuasaan juga bukan insan kamil. Ia monster yang menakutkan. Manusia yang tahan dikubur empat puluh hari tetapi sangat terbelakang dalam pengetahuan bukan insan kamil. Ia hanyalah fakir yang menarik dalam memberikan tontonan, bukan tuntunan.

Jadi Insan kamil atau yang disebut dengan manusia paripurna merupakan totalitas kemanusian, dimana adanya potensi diri dapat dioptimalkan dengan sebaik-baiknya. Potensi diri ini merupakan instink yang diberikan Tuhan kepada manusia secara sempurna untuk menjadikannya sebagai makhluk yang sempurna sebagai konsekuensi logis dari statusnya sebagai khalifah fil al-ardh (mandataris Tuhan di muka bumi). Oleh karenanya manusia dibekali dengan indera, akal, dan hati yang melebihi ciptaan lainnya. Indera bersifat material yang diperuntukkan pada hal-hal yang berhubungan dengan materi. Akal bersifat intelek yang diperuntukkan pada hal-hal yang berhubungan dengan pikiran. Sementara hati bersifat rohaniyah yang diperuntukkan pada hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan spritual.
Maka menjadi manusia yang mempunyai kualitas kesempurnaan harus dengan cara menyeimbangkan segala potensi positif diri antara jasmani dan rohani, individu dan sosial, duniawi dan ukhrowi, serta intelektual dan spiritual. Oleh karena itu manusia paripurna bukanlah oknum sufi yang menutup pikiran, mata, dan telinga dari ganasnya sistem thagut yang diaplikasikan kaum mustakbirin dan munafikin seperti yang ada di negri ini. Bukan pula semacam filosof gadungan yang membaca realitas secara serampangan. Pandangan dunia dan aplikasi perbuatan manusia paripurna berbeda seratus delapan puluh derajat dengan oknum intelektual yang hanya menuhankan akalnya dan melacurkan diri dalam lingkungan materialisme. Dalam al-Qur’an, Allah tidak hanya mengapresiasi manusia yang memiliki kulitas keimanan, akan tetapi juga mereka yang memiliki kualitas bidang keilmuan. Artinya manusia paripurna harus mengembangkan kualitas iman dan ilmu pengetahuan secara keseluruhan.
Di samping itu, al-Qur’an menyiratkan bahwa kesempurnaan manusia merupakan totalitas dari tiga aspek kemanusiaan, yaitu sebagai basyar, an-nas, dan al-insan. Sebagai basyar, manusia adalah makhluk biologis yang membutuhkan makan-minum dan berkembang biak. Dalam aspek ini manusia tidak bisa melepaskan diri dari hal-hal yang berhubungan dengan materi atau jasmani, termasuk juga aktivitas keduniawian. Sebagai an-nas, manusia merupakan makhluk social dimana mereka harus hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai al-insan, manusia merupakan makhluk psikologis dan spiritual. Oleh karena itu, ketiganya merupakan aspek mendasar yang harus digunakan secara seimbang. Karena bagi manusia, tidak semua hal bisa diselesaikan dengan materi, tapi manusia juga membutuhkan hal-hal yang bersifat spiritual. Disinilah manusia membutuhkan keyakinan dan agama dalam menopang kehidupannya.
Oleh karenanya, paham materialisme dan positivisme di Barat tidak akan mampu bertahan dalam kehidupan. Sebab materialisme dan positivisme hanya melahirkan dehumanisasi, yaitu menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan. Padahal manusia tidak akan mampu membuang fitrahnya sendiri. kemajuan intelektual di Barat tidak bisa menjawab semua persoalan kemanusian. Sehingga sejumlah problematika pun muncul karena mereka mengalami kekeringan spiritual. Maka muncullah fenomena baru abad ini bahwa Barat mencari jalan spritual yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan mereka. Fenomena banyaknya orang-orang Eropa yang mulai memeluk Islam adalah fakta bahwa Eropa sedang membutuhkan penyelesaian spiritual. Jadi tidak mengherankan jika Prof. Dr. Roger Garaudy, seorang filosof kenamaan asal Perancis pernah mengutarakan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar bagi kemelut yang melanda Eropa.


ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIEN